kato

Jika Umurmu Tak Sepanjang Umur Dunia, Maka Sambunglah dengan tulisan

Jumat, 14 November 2014

Aku Benci Tempat Ini #3 -Terakhir-

Riki Ariyanto

Gadis berkerudung marun itu bernama SINTA,
Tentu kau masih ingatkan, wanita berhidung mancung yang ku sebut di tepi jendela kamar rumah sakit kemarin. Yang buat jantung setiap jejaka dag dig dug kala berhadapan muka, dan
lesung pipinya yang selama ini ku anggap ada, ternyata KHAYALANku saja.

Sinta,
Tentu kau bertanya kawan dari mana aku yang pemalu ini tahu nama, ‪#‎em‬ gadis bermata sendu, namun berkesan syahdu. Jangan kau bayang aku berkenal Sinta saat kami tetiba bertabrakan kala menuruni anak tangga. Lalu tanganku tak sengaja menyentuh kuku jemarinya yang memungut buku terjatuh. Dan berakhir dengan bertukar pin BB, terus makan malam di sebuah cafe. (baca: Aku Benci Tempat Ini #1)

Idih, itu cuma ada di FTV-FTV saja kawan. Imajinasiku tak seliar itu, dan tak seberuntung itu.
Hari ke tujuh. Waktu kau divonis boleh pulang. Kakimu sudah baikan oleh dokter kamar.
Ha, waktu itulah, saat aku buru-buru mengejar lift untuk ke lantai dasar. Aku ada tugas liputan penting. Saat pintu lift bergerak menutup, terlihat dia berlari. Sambil menyeka kening.

Dia memencet angka dua. Saat lift berhenti, lantas dia tergopoh-gopoh, keluar sambil mengambil sesuatu dari tas sandangnya. Dirinya berjalan sangat cepat, seolah terburu-buru
Selintas kulihat dilantai ada Undangan. Berwarna merah marun, ada nama diukir bersama tinta emas cerah: Randi & Sinta.

Terpukulkah aku? Jangan salah, yang kurasa lebih dari itu. Seluruh ragaku serasa remuk. Hancur harapanku bak terluka oleh sembilu.
Aku, pria pemalu yang kurang beruntung.

Lift terus turun, dan berhenti. Aku seorang diri. Pintu lift sekali lagi terbuka, dengan harum mawar. Oh, Sinta. Nafasnya terlihat memburu, mungkin tadi ia berpacu menuruni anak tangga. (baca: Aku Benci Tempat Ini #2)
"Eh, itu undangan, (huh) un...dang...an punya.... (hela nafas) saya ya, em," tanyanya.
"Oh iya, maaf. Tadi terjatuh," ujarku sambil membetulkan pita berwarna merah. "Ini...," ku ulur undangan sambil melangkah keluar. "e..."

"Ayu," tuturnya sambil mengambil undangan. "Terima kasih ya, bang ki. Dah dulu ya," pamitnya.
Handeh, entahlah, saat itu rasanya senyumannya adalah segalanya. Ternyata Sinta nama kakak sepupunya yang akan menikah minggu depan. Ayu berlalu sambil lambaikan tangan. Jilbab birunya hari itu bergoyang tertiup sapuan angin senja. Gadis yang manis sekali
Diriku diam kaku, bak patung selamat datnag Kota Pekanbaru. Entah ku membalas lambaian tangan nya pada waktu itu entah tidak. Tapi bukankah tadi Ayu bilang "Bang ki?" Dari mana pula dia tahu panggilan itu kan.

Ah, sudahlah. Mungkin akunya salah dengar.
"Iyakan?" tanyaku pada teman yang sedari tadi ku ajak cerita.
Ndeh, entah mendengar atau tidak. Yang ku lihat dirinya memejamkan mata. mungkin kantuknya tak tertahankan.
Peduli amat. Biarlah ku simpan saja kisah ini selamanya. Ya, bicara jodoh, jikalah takdir tuhan itu benar, jodoh tak kan tertukar.


Rumah sakit? bau obat? aku tak jadi benci. Bukankah yang kita anggap tak baik belum tentu buruk buat kita. Begitu juga sebaliknya. Lagipula Ayu sedang praktek di sana. Ba'da Ashar dia minta jemput, ada yang mau dibilang katanya. ^_^ (habis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims