kato

Jika Umurmu Tak Sepanjang Umur Dunia, Maka Sambunglah dengan tulisan

Jumat, 14 November 2014

Aku Benci Tempat Ini #2

Riki Ariyanto

HARI KELIMA di rumah sakit. Sekarang temanku yang sedang baring. Kini sudah bisa tersenyum. Pagi tadi buk dokter kasih kabar baik. Wanita paruh
baya itu bilang dalam waktu dekat temanku sudah boleh pulang.
Kelumpuhan kedua kakinya ternyata hanya sementara, bukan permanen.
Saat hari pertama dirinya di rawat, kami semua sudah cemas. Ceritanya saat bangun tidur, tetiba saja kakinya mati rasa. Menggerakkan ujung jempol saja tidak bisa.


Kini di kasur pasien, dirinya terlihat mesem mesem. Mungkin buku yang berjudul sejuta rasa cinta yang dibacanya sedari tadi terbawa dalam mimpi. Tapi mungkin saja, respon perawat yang kerap dia goda mampir jadi bunga tidurnya. Entahlah, dasar lelaki LAJANG.
Aku bergerak menepi, membuka jendela. "kriittt." Tempias air hujan yang deras langsung menerpa wajahku. Menerbangkan bau khas tanah dan rerumputan. Menepis bau obat yang ku benci di ruangan ini.

Memang Hujan sedari pagi tak kunjung berhenti. Aku hanya mengangkat bahu, sambil
bertanya-tanya dalam hati kapan kira-kira hujan berganti hangatnya matahari.
Tiap akhir pekan, Kota Pekanbaru, kerap kena imbas sirkulasi Eddy. fenomena alam dimana terjadinya pusaran massa udara yang berputar di satu tempat. Membentuk awan stratus. Yakni jenis awan yang tebal, padat, dan merata yang menyebabkan turunnya hujan dengan intensitas lama dan awet. (baca: Aku benci tempat ini #1)

Seperti saat ku yang kelas dua SD bermandi hujan depan rumah. Mamak memang tak marah kalau aku berlama-lama diguyur hujan. Tentunya dengan satu syarat. "Cuci piring dulu," begitulah mamak selalu jawab.

Tapi kalau hujan panas, jangan harap. Uang monopoli sekeranjang pun tak mempan luluhkan mamak biar dapat izin. "Banyak hantu! Nanti kau demam, dipegang hantu! hiiii" begitu selalu ancaman mamak kalau aku nekat jua.

Sewaktu kecil aku paling suka mandi hujan, walau cuma pakai kolor. Kita bisa menari-nari layaknya pemanggil hujan. Bisa seluncuran di rumput. Rasanya lapangan komplek yang kosong, milik sendiri. Karena semua orang tengah menikmati seduhan teh sambil bercengkrama di dalam rumah.
Ndeh, lagi. Aku macam kakek-kakek yang hobi merenung. Selalu terbawa kisah masa lalu, yang mestinya sudah dikubur saja.

Pukul 11.38 WIB, jendela di lantai tiga itu tak kunjung terbuka. Penantian panjangku sedari pagi tak membuahkan hasil. Kali ini aku tak dapat melihat pipi "dia" yang merona saat digoda temannya. Alis tipis yang selalu melengkung indah saat dia berfikir keras. Kali ini aku tidak bisa melihatnya.

"Kriieeet." jendela ku tutup kembali. Hidungku selalu mampet jika udara begitu dingin.
Dibalik kaca aku masih perhatikan tempat si "dia" biasa tertawa. Lalu aku hembuskan nafas di jendela. Dengan jari telunjuk aku mengukir diembun kaca. Kamu lagi dimana?
Aku benci hujan ini :'-( . ‪(baca: Aku Benci Tempat Ini #3)
######

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims