Oleh
Riki Ariyanto
Foto: KDRI.web.id |
Di akhir
April 2013 saya sedang sibuk-sibuknya ngurus proposal Skripsi.
Siangnya, Saya rencana singgah ke rumah kedua, sekretariat Lembaga Pers
Mahasiswa Gagasan, di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) di UIN Suska. Sekedar
melepas kepenatan. Di sini saya di tempa untuk giat menulis.
Sesuai moto yang di pegang awak medianya: bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.
Setiba di sana, saya lantas mencari minum. Alamak! galon air habis pula. Sempat kepikiran menenggak air di bak kamar mandi, barang seteguk. Tapi saya urungkan. "Mending minta ke tetangga."
Saya berjalan gontai ke sekretariat Korp Sukarela (KSR) PMI yang berada bersebelahan. untungnya ada orangnya. Sambil minum, mata saya tertuju pada buku tebal bersampul hitam yang tergeletak di meja. Saya percepat menghabiskan air dalam cangkir sambil mendekat. Berjudul: Sila Ke enam, Kreatif Sampai Mati. Ada keterangan singkat juga: Buku petunjuk pengamalan kreativitas bagi rakyat dari Kementerian Desain Republik Indonesia (Belum/tidak sah). Penulisnya Wahyu Aditya. "Wah buku apa ini? apakah buku sejarah? Diktat?" Atau ini buah tangan seorang novelis pendatang baru? Yang sekedar ikut tren genre cinta-cintaan?
Saya balik buku itu untuk melihat tulisan di belakangnya. Ini kebiasaan saya untuk menilai buku itu enak dibaca atau tidak. Meski tak jarang saya keliru. Ada Komentar Andy F. Noya (Host Kick Andy): melalui buku ini Wadit memprovokasi kita untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif sekaligus tindakan
nyata. Wadit
memberikan jawaban tentang kreativitas secara jujur. Di zaman yang sangat
kompetitif seperti sekarang ini, kreativitas merupakan kunci menuju sukses.
Selamat mebaca!
Biar tak risau, saya buka bukunya.
Saya baca dari tengah, kebiasaan lama saya untuk mengecek isi buku. Saya langsung baca butir ke 8 halaman 143, Dari Formal Ke Informal. Fontnya seperti menggunakan jenis comic sans MS, ada variasi coretan-coretan yang dipadu ilustrasi dan foto yang menarik. Saya terkesima. Tanpa sadar, seperti di hipnotis saya terus saja membaca.
Sesuai moto yang di pegang awak medianya: bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.
Setiba di sana, saya lantas mencari minum. Alamak! galon air habis pula. Sempat kepikiran menenggak air di bak kamar mandi, barang seteguk. Tapi saya urungkan. "Mending minta ke tetangga."
Saya berjalan gontai ke sekretariat Korp Sukarela (KSR) PMI yang berada bersebelahan. untungnya ada orangnya. Sambil minum, mata saya tertuju pada buku tebal bersampul hitam yang tergeletak di meja. Saya percepat menghabiskan air dalam cangkir sambil mendekat. Berjudul: Sila Ke enam, Kreatif Sampai Mati. Ada keterangan singkat juga: Buku petunjuk pengamalan kreativitas bagi rakyat dari Kementerian Desain Republik Indonesia (Belum/tidak sah). Penulisnya Wahyu Aditya. "Wah buku apa ini? apakah buku sejarah? Diktat?" Atau ini buah tangan seorang novelis pendatang baru? Yang sekedar ikut tren genre cinta-cintaan?
Saya balik buku itu untuk melihat tulisan di belakangnya. Ini kebiasaan saya untuk menilai buku itu enak dibaca atau tidak. Meski tak jarang saya keliru. Ada Komentar Andy F. Noya (Host Kick Andy): melalui buku ini Wadit memprovokasi kita untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif sekaligus tindakan
Foto: KDRI.web.id |
Biar tak risau, saya buka bukunya.
Saya baca dari tengah, kebiasaan lama saya untuk mengecek isi buku. Saya langsung baca butir ke 8 halaman 143, Dari Formal Ke Informal. Fontnya seperti menggunakan jenis comic sans MS, ada variasi coretan-coretan yang dipadu ilustrasi dan foto yang menarik. Saya terkesima. Tanpa sadar, seperti di hipnotis saya terus saja membaca.
“Mantap bukunya tu ki,” ujar Ridho Irawan, si empunya buku yang baru tiba-tiba.
Aku hentikan membaca, sambil telunjuk mengganjal di halaman yang belum usai dibaca.
“ Kau udah Selesai bacanya? Aku pinjam ya?” ujarku.
Ini kebiasaan saya juga. Kalau bisa pinjam kenapa harus beli, hehe ^_^
“Belum,” jawabnya singkat.
“Besok aku pulangkan. Semalam aja nyo…” aku terus membujuknya. Agar merelakan si hitam persegi ini bisa bersamaku meski hanya satu malam.
Ia
terdiam, sambil mikir-mikir. “Bawaklah,” balasnya.
Yang membuatku sumringah, sambil setengah berlari kembali ke sekretariat Gagasan.
Yang membuatku sumringah, sambil setengah berlari kembali ke sekretariat Gagasan.
Hingga
Malam, saya masih lanjutkan membaca. Kadang buku yang tebal sering buat cepat boring. Tapi Buku yang terdiri
320 halaman
ini, beda. Dengan gaya bertutur yang
santai buat pembaca betah berlama-lama. Bagaimana tidak, mulai dari halaman pertama sampai
akhir penuh dengan ilustrasi kreatif dari coretan tangan seorang Waditya, yang
merupakan penulis sekaligus pendiri Hellomotion Academy.
Foto: KDRI.web.id |
Buku yang
terdiri dari tujuh belas
butir (bab) ini, bisa mulai dibaca dari butir mana saja. Pada peralihan bab ada ilustrasi fullcolour berisi kata-kata motivasi yang disajikan penulis. Yang
membuat saya mengeluarkan ponsel untuk menjepretnya. Karena besok mesti
dipulangkan ke tuannnya.
Di dalam bukunya, terdapat kalimat “meniru dulu sebelum
menghasilkan karya baru.”
Mirip seperti konsep yang kami pakai di Gagasan. Namanya ATM (Amati Tiru
Modifikasi). Yang teramat penting bagi saya, di bukunya Mas Wadit tidak sekedar
menuangkan teori saja, namun ia juga mencoba menggugah memberikan sedikit
pencerahan lewat pengalaman pribadi maupun orang lain. Bahwa harus ada yang
diubah dari pola pandang kita memaknai arti KREATIF.
Baginya
salah besar jika seseorang menganggap keterbatasan adalah faktor
penghambat
kreatifitas. Dalam tiap coretannya Ia menantang otak pembaca untuk berpikir mencari
ide-ide baru yang kreatif. Berdamai
dengan keterbatasan, dan mengebrak pakai kreatifitas
yang spontan.
Di lipatan
kover, Ia sediakan ruang kosong jika pembaca merasa bosan dengan desain yang
dirancangnya. Karena baginya tiap orang punya cara mengekspresikan imajinasinya
masing-masing. “silakan berkreasi sekreatif mungkin,” tulisnya.
Foto: KDRI.web.id |
Selain itu
kisah perjalanan
hidup Waditya juga disisipkan di beberapa bagian
buku. Mulai dari proses dirinya terjun sebagai aktivis di bidang animasi dan desain, sikapnya dalam menilai dunia pendidikan yang monoton dan terlalu
serius, hingga mengkritik logo HUT RI yang kaku.
Sampai akhirnya timbul nasionalisme untuk mendesain ulang logo dengan ciri khasnya sendiri, lalu menyebarkannya secara gratis dengan “creative commons” di web.
Tak terasa
memori 2 GB yang tersemat di hanphone hampir penuh. Sebab saya keasikan
mengabadikan tiap lembar yang menginspirasi. Usai membaca buku itu. Saya
teringat kata-kata dari Thomas Huxley di dalam buku itu: Jadilah seprti anak
kecil, hilangkan prasangka agar tercipa karya-karya kreatif. Saya dibuat
merenung.
Dinding Sekretariat Gagasan di tempeli kreasi krunya (foto: Riki) |
Tuhan
telah memberikan mimpi sebagai anugerah yang istimewa selain kesehatan.Tiap
insan boleh bermimpi sesuka hati, setinggi apa pun yang dia mau. Namun saya
sendiri terkadang sering menyerah pada keadaan. Banyak faktor memang. Kadang
terlintas di pikiran bahwa saya tak berbakat, atau tak bisa apa-apa.
Akhirnya mimpi itu menjadi angan yang mengawang-awang. Tak pernah saya
jamah lagi.
Namun
dengan arogan Mas Wadit mengajak berkreatifitas, sebab kreatif itu hak
semua orang, bukan hanya milik seniman dan desainer
saja. Ini benar adanya. Dan Saya ternyata
begitu larut pada alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Saya seolah-olah merasa
nyaman namun belum aman. Ternyata bukan saya tak bisa, hanya saya yang tak
berani mencoba. Sudah mengalah sebelum berperang. Bukankah yang tercipta di dunia ini tentu memiliki maksud dan tujuan. Tak mungkin sesuatu itu ada pada kesiasiaan. Semua manusia sudah memiliki potensi masing-masing. Kita bukan terlahir sebagai pecundang, kan?
Kini dunia
terus berputar. Hukum rimba pun telah bergeser: Siapa yang kreatif, dialah yang
akan menang.
Esoknya
dengan berat hati buku itu saya pulangkan. “Di mana kau beli buku ni,
do?” ujarku pada Ridho.
“Tu,” ia menunjuk ke arah Perpustakaan Universitas. “Ada bazar di sana. Ada diskonnya juga,” tambahnya.
foto: riki |
Segera
Saya ayunkan langkah ke lokasi. Di lantai dasar tampak ramai orang berlalu
lalang dekat rak rak buku. Saya ikut berkeliling. Di sudut tumpukan, terselip
si hitam persegi yang saya cari. hanya tersisa dua. Bukunya saya balik, tertera
angka 50.000 Rupiah (sudah di diskon).
Jemari
tangan kanan saya merogoh kocek. Kalau tak salah saya masih ada uang sekitar
70ribu. Seharusnya duit ini saya tahan menjelang kiriman awal Mei. Tapi setelah
saya pikir-pikir, tak apalah. Toh, untuk makan masih bisa di cari. Tapi kalau
saya tak beli buku ini, entah kapan lagi bisa beli.
Akhirnya
Si Hitam Persegi berhasil saya miliki. Kini saat saya sedang mentok inspirasi,
saya akan merujuk pada Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati. Organisasi Gagasan
meresensinya dan merekomendasikan sebagai salah satu bacaan yang bergizi.
Majalahnya di sebar ke 10% dari 20ribu Mahasiswa UIN Suska.
“Saya pun sependapat,
kreatif itu
tidak mengklaim tetapi mencontoh untuk hasil karya baru,” Tulis Saiful Khairi pada resensinya.
“Ki? Mana buku Kreatif Sampai Mati kemaren tu. Aku mau
baca,” ujar Melba Ferry Fadly saat tengah sibuk mendesain spanduk.
“Bagus bukunya bang. Ngak bosan tari bacanya,” kata
Lestari sesaat memulangkan buku itu ke saya. Si Hitam Persegi jadi kinclong
karena sudah dipakaikan sampul.
Resensi KSM (foto riki) |
Bukan
maksud saya untuk melebih-lebihkan isi buku. Bukan pula saya seorang
resellernya, Bukan. Saya hanya mencoba mereview apa yang saya baca, dan
rasakan. Intinya buku ini menarik untuk di baca. buat kamu yang sampai hari ini
masih berpikir kreatifitas itu hanya milik mereka yang berbakat.Selamat
meminjam, eh membaca.
Judul
buku : Sila KE Enam
Kretif Sampai Mati
Pengarang
: Wahyu Aditya
Penerbit
: Bentang Pustaka
Tebal
Halaman : 320 Halaman
Tahun
Terbit : 2013
Nyimakk ,, , ,salam kenal sob , , ,mampir diblog q juga yaa . . .
BalasHapussip, trims atas kunjungannya bro,...
BalasHapuswah,, jadi penasaran kepengen baca si persegi hitam nyaa,,,, sepertinya asyik tuh bukunaa,,,
BalasHapushehe, iya tu. silahkan di cek di Gramed masih ada stok tu ^_^
Hapusluar biasaaa
BalasHapustrims, bung mariyanto, sudi mampir :)
Hapus