Oleh: Riki Ariyanto
Aku datangi kamu yang terlihat sedang menenteng buku tebal.
"Aku mau bilang sesuatu."
Kamu manut saja, meski raut heran tak lepas dari tanya.Aku hela nafas sesaat. Kamu masih diam, lalu " Ada apa sih? kok malam-malam gini? besok aku ada ujian lho."
Entah bagaimana mengatakannya. Aku masih sibuk dengan fikiranku seorang. Sampai aku mengaduh, saat kamu cubit
lenganku. "Ayo ngomong..." ujarmu manja.
Angin yang berhembus pelan menghantarkan udara dingin. Buat kedua tanganku mengatup.
"Akhirnya aku tahu," ujarku pelan. "Aku menyukai kedua bola matamu, Aku terpesona akan
parasmu. Aroma melati yang seberbak darimu tak mampu hilang di ingatanku. Sungguh."
Dia bingung. Mungkin menerka ke mana arah tujuan perbincangan ini.
Aku hela nafas untuk kesekian kali.
"Suaramu merdu, terngiang di otakku. Hanya bayangmu yang senantiasa ku belai, tak mampu ku singkap dari pengantar tidur. Lembut tanganmu yang tak pudar dari genggamanku. Ada apa ini?"
Aku mendekat, dan pegang jemarimu yang hangat malam itu.
"Ternyata Aku sadar satu hal,..." ku biarkan suasana menenggelamkan perasaan kami.
"Ternyata aku menyukaimu dengan ragam alasan. Memenuhi seluruh indra yang ku punya. Padahal, seperti kata-kata di buku zodiak yang ku baca: CInta Sejati itu tak butuh alasan!"
Badanmu bergetar, Sayup-sayup mulai terdengar isakan.
"Aku ingin kita akhiri hubungan ini," Tanganmu yang ku genggam erat akhirnya lepas tak bertopang.
Aku kembali lanjutkan, "Kita masih bisa berteman kan?" belum usai ku sampaikan kata terakhir. Kamu hentakkan bahu, dan berlari, sambil bilang: KAMU JAHAT BANG!
***
Aku coba memejamkan mata kembali. Ayam jago baru saja berkokok. Aku hidupkan pemutar musik di laptop, lalu memplay Resonansi Jiwa: Kisah tentang seorang guru dan muridnya. Untuk sekedar menentramkan hati dari peristiwa tadi malam.
"Anakku," sang guru memanggil muridnya.
"Ada apa guru?"
Lalu dengan suara berat gurunya berkata: pergilah kamu ke dalam hutan!
Saat kamu temui satu ranting yang paling indah, baik, dan bagus, bawalah kemari. Tapi dengan satu syarat! kamu tak boleh menoleh dan kembali ke belakang.
Si murid segera berlalu. Ia masuk ke hutan yang dikenal kaya akan macam pohon yang menawan. Di tengah perjalanan ia berhenti pada pohon yang memiliki ranting yang bagus.
Lalu ia potong. Beberapa langkah kemudian, ia melihat satu ranting yang menurutnya lebih indah. Ia potong. Dan mencampakkan ranting sebelumnya ke semak-semak,
Tak jauh dari tempatnya berdiri, di sisi yang lain ia melihat ranting yang sempurna. Lalu ia ambil kapak dan memotongnya.
setelah beberapa jam, si murid kembali dengan wajah pucat pasi. Ia takut, sebab tak membawa satu ranting pun. Padahal ia telah menempuh perjalanan jauh, hingga beberapa kilometer untuk ke hutanitu.
"Mohon ampun Guru, Ananda tak mampu tunaikan titah guru." Ia memelas.
"Kenapa bisa begitu, Anakku?"
Lalu si murid menceritakan apa yang ia alami sewaktu mencari satu ranting yang sempurna tadi.
Lalu sang guru tersenyum, sambil menepuk pelan pundak si murid. "Tidak apa anakku. Ini hanyalah sebuah pembelajaran. Tahukah kau apa arti ranting tersebut, muridku?
Itulah yang dinamakan Cinta Sejati. Kamu tak kan pernah menemukan sesuatu yang sempurna dimanapun kamu berada. Yang kamu temui hanya cinta apa adanya. Yang sederhana, namun bisa buat kamu dan dia bahagia selamanya. Itulah Cinta Sejati, Anakku."
***
Aku belum jua pejamkan mata. di luar sana, sinar kemerahan mulai menghiasi langit. Masih
membekas apa yang kudengar tadi pagi. Aku merenung tentang tadi malam.
Setelah di pikir-pikir, ternyata akulah yang menyerah pada ketidaksempurnaannya. Aku yang tidak tahan pada hubungan yang kami jalani, yang sebenarnya bisa berjalan dengan baik.
Barangkali, kalau memang keputusan aku ini benar, capat atau lambat aku pasti temukan orang yang tepat.
Dan kalau memang salah, maka ... seumur hidup aku akan menyesal.
Mungkin Seperti catatan di lembar kertas. Lembaran yang ada padaku sudah penuh dengan coretan yang tak kusuka darinya atau sikapnya yang harus diperbaiki.
Namun, di kertasnya, yang ku dapati hanya lembaran kosong tanpa coretan.
Mungkin dengan mata berlinang dia akan katakan: Aku ngak bisa menulis apa-apa di sini (kertas). Sejak awal aku tak menuntut apa-apa darimu, bang. Aku hanya berharap kamu bisa menerimaku apa adanya. Seperti cintaku padamu yang sungguh sederhana."
Aku datangi kamu yang terlihat sedang menenteng buku tebal.
"Aku mau bilang sesuatu."
Kamu manut saja, meski raut heran tak lepas dari tanya.Aku hela nafas sesaat. Kamu masih diam, lalu " Ada apa sih? kok malam-malam gini? besok aku ada ujian lho."
Entah bagaimana mengatakannya. Aku masih sibuk dengan fikiranku seorang. Sampai aku mengaduh, saat kamu cubit
lenganku. "Ayo ngomong..." ujarmu manja.
Angin yang berhembus pelan menghantarkan udara dingin. Buat kedua tanganku mengatup.
"Akhirnya aku tahu," ujarku pelan. "Aku menyukai kedua bola matamu, Aku terpesona akan
parasmu. Aroma melati yang seberbak darimu tak mampu hilang di ingatanku. Sungguh."
Dia bingung. Mungkin menerka ke mana arah tujuan perbincangan ini.
Aku hela nafas untuk kesekian kali.
"Suaramu merdu, terngiang di otakku. Hanya bayangmu yang senantiasa ku belai, tak mampu ku singkap dari pengantar tidur. Lembut tanganmu yang tak pudar dari genggamanku. Ada apa ini?"
Aku mendekat, dan pegang jemarimu yang hangat malam itu.
"Ternyata Aku sadar satu hal,..." ku biarkan suasana menenggelamkan perasaan kami.
"Ternyata aku menyukaimu dengan ragam alasan. Memenuhi seluruh indra yang ku punya. Padahal, seperti kata-kata di buku zodiak yang ku baca: CInta Sejati itu tak butuh alasan!"
Badanmu bergetar, Sayup-sayup mulai terdengar isakan.
"Aku ingin kita akhiri hubungan ini," Tanganmu yang ku genggam erat akhirnya lepas tak bertopang.
Aku kembali lanjutkan, "Kita masih bisa berteman kan?" belum usai ku sampaikan kata terakhir. Kamu hentakkan bahu, dan berlari, sambil bilang: KAMU JAHAT BANG!
***
Aku coba memejamkan mata kembali. Ayam jago baru saja berkokok. Aku hidupkan pemutar musik di laptop, lalu memplay Resonansi Jiwa: Kisah tentang seorang guru dan muridnya. Untuk sekedar menentramkan hati dari peristiwa tadi malam.
"Anakku," sang guru memanggil muridnya.
"Ada apa guru?"
Lalu dengan suara berat gurunya berkata: pergilah kamu ke dalam hutan!
Saat kamu temui satu ranting yang paling indah, baik, dan bagus, bawalah kemari. Tapi dengan satu syarat! kamu tak boleh menoleh dan kembali ke belakang.
Si murid segera berlalu. Ia masuk ke hutan yang dikenal kaya akan macam pohon yang menawan. Di tengah perjalanan ia berhenti pada pohon yang memiliki ranting yang bagus.
Lalu ia potong. Beberapa langkah kemudian, ia melihat satu ranting yang menurutnya lebih indah. Ia potong. Dan mencampakkan ranting sebelumnya ke semak-semak,
Tak jauh dari tempatnya berdiri, di sisi yang lain ia melihat ranting yang sempurna. Lalu ia ambil kapak dan memotongnya.
setelah beberapa jam, si murid kembali dengan wajah pucat pasi. Ia takut, sebab tak membawa satu ranting pun. Padahal ia telah menempuh perjalanan jauh, hingga beberapa kilometer untuk ke hutanitu.
"Mohon ampun Guru, Ananda tak mampu tunaikan titah guru." Ia memelas.
"Kenapa bisa begitu, Anakku?"
Lalu si murid menceritakan apa yang ia alami sewaktu mencari satu ranting yang sempurna tadi.
Lalu sang guru tersenyum, sambil menepuk pelan pundak si murid. "Tidak apa anakku. Ini hanyalah sebuah pembelajaran. Tahukah kau apa arti ranting tersebut, muridku?
Itulah yang dinamakan Cinta Sejati. Kamu tak kan pernah menemukan sesuatu yang sempurna dimanapun kamu berada. Yang kamu temui hanya cinta apa adanya. Yang sederhana, namun bisa buat kamu dan dia bahagia selamanya. Itulah Cinta Sejati, Anakku."
***
Aku belum jua pejamkan mata. di luar sana, sinar kemerahan mulai menghiasi langit. Masih
membekas apa yang kudengar tadi pagi. Aku merenung tentang tadi malam.
Setelah di pikir-pikir, ternyata akulah yang menyerah pada ketidaksempurnaannya. Aku yang tidak tahan pada hubungan yang kami jalani, yang sebenarnya bisa berjalan dengan baik.
Barangkali, kalau memang keputusan aku ini benar, capat atau lambat aku pasti temukan orang yang tepat.
Dan kalau memang salah, maka ... seumur hidup aku akan menyesal.
Mungkin Seperti catatan di lembar kertas. Lembaran yang ada padaku sudah penuh dengan coretan yang tak kusuka darinya atau sikapnya yang harus diperbaiki.
Namun, di kertasnya, yang ku dapati hanya lembaran kosong tanpa coretan.
Mungkin dengan mata berlinang dia akan katakan: Aku ngak bisa menulis apa-apa di sini (kertas). Sejak awal aku tak menuntut apa-apa darimu, bang. Aku hanya berharap kamu bisa menerimaku apa adanya. Seperti cintaku padamu yang sungguh sederhana."
Kamu tak kan pernah menemukan sesuatu yang sempurna dimanapun kamu berada. Yang kamu temui hanya cinta apa adanya. Yang sederhana, namun bisa buat kamu dan dia bahagia selamanya. Itulah Cinta Sejati. (I agree whit this statement). ^-^
BalasHapus^_^ Trimaksih sudah baca, Sabana (Y)
BalasHapus