Oleh Riki Ariyanto

Pernahkah kamu bertanya mengapa ku suka purnama? tentunya
tidak. waktu itu untuk pertama kalinya kuberanikan diri sampaikan perasaan pada
seorang wanita. Mungkin bagi orang lain itu mudah, tapi bagiku gampang-gampang
susah.
Mengutarakan isi hati tak obahnya seperti
merendam kaki yang luka di air hangat. Ada rasa perih yang menyenangkan.
Jelasnya tak dapat di lukiskan dengan untaian kata, begitu pikirku.
"Bisa keluar sebentar?" aku menelepon untuk
memastikannya ada di rumah.
"Ni adeknya bang..." Aku jadi salah tingkah.
"Kakaknya ada?"
"kenapa?" sang pujaan hati menjawab.
"Bisa keluar sebentar? ad yg mau di bilang," ku rasa
keringat mengalir ditelapak tangan.
"Ngak bisa, udah malam. Ayah ngak bolehkan
keluar,"ujarnya.
"sebentar saja.....," ucapan ku lebih terdengar bagai
lirihan dari pada permintaan.
Kemudian dengan terpaksa ia
mengiyakan. Aku tancap gas.
Kami duduk di kursi panjang dekat beranda. Lalu ku utarakan
perasaan yang sesakkan rongga dada.
"serius?"
Aku lemparkan senyum yang tak jelas
bentuknya.
"Pikir-pikir dulu ya...," matanya mulai tampak
sayu.
"jessshhh" hati yg sudah plong, kembali sesak
dengan ketidakpastian. Bulan purnama yang menerangi kami sejak tadi, mulai berselimut
awan hitam. Aku pun mengangguk lemah.
-----
Hingga beberapa bulan kemudian, aku masih belum siap
mendengar jawabannya. Tapi komunikasi kami berlangsung seperti biasa.
Hingga suatu malam ku kirim SMS.
"Bleh tanya sesuatu ngak?"
"Bleh tanya sesuatu ngak?"
"ap?" iya balas dengan cepat.
Kemudian ku tanyakan mengenai malam
saat ku menembus malam, menahan dinginnya malam serta gigitan nyamuk. Entah ia
masih ingat atau tidak. Tapi setidaknya tiap pertanyaan butuh jawaban. Setiap perasaan
perlu diutarakan. Agar tiba pada hati ke hati masing-masing raga.
beberapa menit berlalu tanpa balasan.
Aku mulai berpikir tak karuan. Sempat ingin pergi ke kios
ponsel, barang kali ia kehabisan pulsa.
Kemudian ada nada pesan masuk.
Dengan cepat ku buka, yang berisi:
"Emang kapan nembaknya?"
Ku membalas SMS dengan perasaan
malas. Pada malam itu ternyata ia menganggap perkataanku hanya gurauan. HP ku
biar jatuh bebas di atas kasur. Aku rebahan sambil menatap langit-langit.
Ku coba memejamkan mata. Malam itu rasa
kantukku terlambat datang.
Di langit, bulan Purnama masih
terang benderang. Namun tak mampu menerangi gelap hati yang tengah meringkuk
dengan kegaduhan.
beberapa minggu kemudian aku dapat kabar ia jadian dengan orang yang ku kenal. tapi tak lah mengapa cinta itu tak bisa dipaksa.bila jodoh pasti tak kemana.
beberapa minggu kemudian aku dapat kabar ia jadian dengan orang yang ku kenal. tapi tak lah mengapa cinta itu tak bisa dipaksa.bila jodoh pasti tak kemana.

Setelah puzzle ku susun membentuk
tanda cinta. Kini aku kehilangan satu kepingan...... tapi biarlah. Aku percaya,
dimana pun tulang rusukku (baca: jodoh) tidakkan tertukar. Bersabarlah, wahai
pecinta purnama.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims