Oleh Riki Ariyanto
foto net |
Dua
tahun yang lalu, Mesir bergejolak. Di alun-alun Tahrir, massa
menuntut Hosni Mubarak (Mantan Presiden Mesir) mundur. Situasi riuh. Ada banyak saksi mata melihat, merekam dan
menulis. Fakta-fakta itu kemudian disiarkan. Tidak saja stasiun televisi Al Jazeera tetapi juga CNN.
Bahkan
begitu aksi muncul, jejaring sosial ramai dengan informasi peristiwa tersebut. mereka
yang tidak hadir dalam demonstrasi di lapangan itu dengan mudah mengakses lewat
ponsel. Selain itu mereka ini ikut menyebarkan gagasan - gagasan akan
pentingnya Mubarak mundur dari jabatannya lewat jejaring sosial. Hasilnya,
Husni Mubarak resmi mengundurkan diri rakyat dan medianya menang. Setidaknya itu
yang di gambarkan Nurudin (2011)
dalam buku internet menuju cyber village.
Kini penguna Internet
tiap tahunnya kian bengkak. Cara mengaksesnya beragam, bisa lewat destop,
telepon seluler cerdas, juga tablet. Indonesia jadi salah satu negara
pengkonsumsi aneka produk digital terbesar di dunia.
Dewasa
ini dari ujung jempol, dalam hitungan detik, ribuan informasi mengalir lewat Twitter, Facebook, dan media sosial
lainnya. Sehingga tidak mengherankan bila makin banyak orang yang mendapatkan
berita dari media sosial. Sebab informasi yang tadinya digali, dikumpulkan dan disiarkan
oleh wartawan kini bisa langsung beredar “tanpa perantara.”
Meski bermodalkan ponsel warga bisa melakukan aktifitas jurnalis |
Di satu sisi surat
kabar dengan jutaan oplahnya memang terus beredar. Namun di negara-negara industri seperti Amerika
Serikat, surat kabar dan majalah susul menyusul gulung tikar. Semua tak lain
dan tak bukan disebabkan perkembangan teknologi internet yang senantiasa mengedepankan
kecepatan.
Mungkin benar,
kehadiran surat kabar hari ini telah mementahkan anggapan bahwa radio dan televisi
akan membuat riwayat media cetak berakhir. Namun kini penyaing baru telah hadir.
Yang ini bisa jadi sangat berbahaya dan mematikan.
Selain itu
menurut Shayne Bowman dan Cris willis dalam Neiman
Repots keluaran Universitas Harvard 2005, Internet telah menjadi saluran
perubahan, percepatan, perluasan, sekaligus perputaran gagasan. Media massa
yang memegang peran sebagai penjaga gawang berita kini terancam bukan oleh
kehadiran teknologi dan pesaing baru, tetapi oleh khalayak yang menyajikan
sendiri informasi yang mereka butuhkan.
Dalam The Elements of Journalism yang di usung
Bill Kovach dan Tom Rosentiel, disebutkan
norma yang dicita-citakan jurnalisme profesional. Nilai itu meliputi
independensi, verifikasi, kesetiaan utama pada warga ketimbang pada politik
atau korporasi, berdedikasi untuk menimbang kejadian ketimbang komitmen untuk
memaksakan hasil spesifik atau solusi kebijakan. Objektif tak berarti netral.
Pers mesti melakukan metode obyektif dan transparan dalam mengumpulkan dan
verifikasi berita.
Jakob Oetama, dalam
kumpulan artikelnya (2001) soal pers harus sanggup menangkap dan menyalurkan
permasalahan serta aspirasi masyarakat. Pers harus mampu memberikan informasi. Pers
terpanggil untuk mengembangkan mutu, komitmen dan tanggungjawab sosialnya.
Setidaknya itu salah satu agar media cetak tetap dibaca khalayak, agar tak di
cap, “sekedar cetak”.
Kini dengan teknologi yang semakin mudah dan
murah masyarakat melirik internet sebagai new
media tanpa sensor dari editor. Mereka rajin menulis di blog, mengkritisi
apa saja termasuk media arus utama, dan melaporkannya di media sosial. Perilaku
ini yang lebih dikenal sebagai Citizen
Journalism ( jurnalisme warga ) nama lain participatory journalism atau gasroot
journalism. Mereka “melawan” terhadap
media utama yang kerap abai tanggungjawab sosialnya.
Bill Kovach dalam
buku Blur (2012), menyebutkan hampir
separuh dari seluruh orang dari 10 orang yang online memperoleh berita dari
mesin pencarian seperti google dan Yahoo! Sepertiga dari yang online
membaca blog dan enam dari 10 orang menyaksikan video dari situs youtube. Dan teknologi serupa yang
mempermudahkan warga memproduksi konten mereka sendiri juga dimanfaatkan pemerintah, swasta untuk
berkomunikasi langsung. Ditengah kondisi ini , wartawan pun menjadi penjaga
pintu untuk ruang yang tak lagi berdinding.
Wajib
mencari kebenaran tidaklah cukup. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada
warga. Kesetiaan kepada warga ini adalah makna dari yang disebut independensi
jurnalistik. Dalam survei tentang yang dilakukan oleh Pew Research Center for
the People and The Press dan Comitte of Concerned Journalist, terhadap
pertanyaan, “Kepada siapa anda bekerja?” Lebih dari 80 persen responden
menempatkan “kewajiban pertama adalah kepada pembaca, pendengar, pemirsa”
sebagai “prinsip inti journalism.”
Surat kabar
mulai cari solusi. Ikut berpartisipasi membuka portal berita. Namun mengutip
kata-kata Suwarjono, redaksi pelaksana vivanews.com
usai beri materi pada acara seminar di Pekanbaru tahun 2012 lalu. Surat kabar memang mulai beralih ke
dunia online. Namun itu masih sekedar memindahkan isi cetak ke online.
Sedangkan di media online pihak media bisa membuat konsepnya seperti mall. Apa
yang dibutuhkan, sudah tersedia.
Jakob memandang
sudah saatnya surat kabar bertambah dekat dengan pembacanya. Penerbit dan
wartawan jangan asyik sendiri. Tidak menulis apa yang menarik menurut dirinya,
tetapi apa yang diinginkan dan menarik khalayak pembaca.
Jurnalisme tak
lagi berupa ceramah. Ia lebih dialogis-berpotensi lebih kaya dari yang
sebelumnya ada.
Secara industri pengelolaan new
media, lebih murah dan mudah dari pada media mainstream. Kini aktivitas jurnalistik seperti perencanaan,
mengolah liputan, memuat hingga menyebarkan, tidak lagi milik mereka yang
berkecimpung di media massa, tapi orang biasa pun dapat melakukannya.
Meski
dalam perjalanannya kita membutuhkan berita yang benar, baik secara peliputan
maupun verifikasinya. Setidaknya jangan sampai media mainstream kecolongan
ketika mengejar berita demi kecepatan malah meninggalkan ketepatan. Berita
tetaplah laporan yang dalam prosesnya membutuhkan proses pembenaran dan mencari
kabar yang benar.
bukan semata sensasional.
bukan semata sensasional.
Ramalan
soal kematian media cetak, bukanlah isapan jempol belaka. Ditambah dengan
semakin variannya tayangan di televisi, dan semakin mudahnya mengakses internet,
sebagai tanda masa itu tak lama lagi.
Namun
media cetak punya khasnya sendiri. Sebagian masyarakat masih mendapatkan
informasi lewat koran maupun majalah. Media cetak kini, sering muncul dengan
terobosan tampilan dan penulisan. Media cetak sudah tak lagi bisa beranggapan
benar dan hebat sendiri. New Media bisa
menjadi rekan atau lawan.
Entan. Online
Citizen Journalism Media alternatif untuk
mempublikasikan dan mendapatkan informasi. Diunduh pada 1 Februari 2013 jam
23.30 WIB. http://eentan.blogspot.com//.2009.
Jakob Oetama. 2001. Suara
nurani-Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.
Kovach , Bill dan Rosenstiel Tom. 2012. BLUR Bagaimana Mengetahui Kebenaran Di Era
banjir Informasi. Yayasan Pantau. Dewan Pers. Jakarta.
Kovach, Bill & Tom Rosenstiel. 2006. Sembilan Elemen Jurnalisme Apa yang
Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. Jakarta: Yayasan
Pantau.
Nurudin. 2009. Jurnalisme Massa Kini.
Jakarta: Rajawali Pers.
______. 2007. Pengantar Komunikasi Massa.
Jakarta: Rajawali Pers.
______. 2011. GejolakTimteng dan Kemenangan Jejaring
Sosial. Diunduh pada 29 Januari 2013 jam 8.39 WIB. http://nurudin-umm.blogspot.com/2011/04/gejolak-timteng-dan-kemenangan-jejaring.html
Pepih
Nugraha. 2012. Citizen Jurnalism, Pandangan,
Pemahaman, dan Pengalaman. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Tempo. Orang Pajak Taat Palak. Edisi 5-11 Maret 2012. Jakarta: PT TEMPRINT.
Yahoo.com. 2011.
Jurnalis yang aktif Twitter vs Jurnalis Anti Twitter. Diunduh pada 29 Januari 2013 jam 9.54 WIB http://id.berita.yahoo.com/jurnalis-yang-aktivis-twitter-vs-jurnalis-anti-twitter.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims