Oleh Riki Ariyanto
Waktu itu umurku belasan tahun.
Aku suka dia. Kami sering berjumpa dan bangku kami berdua berdekatan, hanya
berjarak satu bangku . Terkadang saat ku curi pandang,
tampak ia lebih sering serius menyimak pelajaran.
Di sekolah kami beberapa kali berpapasan. Kami jarang bertegur sapa. Suatu hari tersebar kabar,
teman yang sebangku dengan
ku juga suka dia. Dadaku
berdebar, Tiap temanku menyebutkan namanya. tapi aku hanya mampu tersenyum.
Suatu malam, entah mengapa ku
teringat dia. Ku lirik buku catatan merk Kiky.
“Srekk,” ku sobek selembar. aku akan tulis semua perasaan dalam rangkaian kata. Berkali-kali gulungan
kertas ku lempar. ternyata aku sama sekali tidak tahu apa yang akan ku tulis.
Beberapa menit
kemudian tulisanku selesai. Lama ku merenung. “Sepertinya ada yang kurang,” pikirku. Ku ambil gunting, dan memotong kertas berbentuk pola. Ya kalian pasti tahu,
bentuknya hati. namun ku masih merasa ada yang kurang. Diam-diam ku masuk ke
kamar Bapak. jumpa botol parfum, langsung semprot. “Yah, kebanyakan,” sambil ku
gibas-gibaskan. Setelah selesai, surat tadi ku selip di buku
catatan. aku coba pejamkan mata, berharap mimpi ku indah.
Paginya dari Dalam kamar sebelah, sayup ku dengar ayahku terheran-heran mengapa botol pewanginya berkurang banyak.
***
Paginya dari Dalam kamar sebelah, sayup ku dengar ayahku terheran-heran mengapa botol pewanginya berkurang banyak.
***
“Teng-teng-teng,”
penanda waktu istirahat jam pertama. “Kantin yok,” ajak temanku.
“Duluan, nanti aku nyusul.” akhirnya aku tinggal di ruangan sendirian. Aku mendekat ke meja gadis yang ku idamkan.
Keringatku menumpuk di dahi. Sesekali ku terkejut bila ada orang yang melintas di depan kelas. Untung bukan dia.Ku masukkan surat yang telah ku siapkan ke tas di bawah mejanya. dengan sigap ku berlari menyusul teman ke kantin.
“Duluan, nanti aku nyusul.” akhirnya aku tinggal di ruangan sendirian. Aku mendekat ke meja gadis yang ku idamkan.
Keringatku menumpuk di dahi. Sesekali ku terkejut bila ada orang yang melintas di depan kelas. Untung bukan dia.Ku masukkan surat yang telah ku siapkan ke tas di bawah mejanya. dengan sigap ku berlari menyusul teman ke kantin.
sampai di kantin, ku merasa ada yang menganjal. selang beberapa waktu ku tersadar. ternyata ada satu hal yang ku lupa, si dia rupanya punya kebiasaan tukar-tukaran tas dengan teman sebangku.
Jadi aku tak tahu tas mana yang akan dia bawa pulang. Aku hanya bisa pasrah pada yang maha kuasa.
Jadi aku tak tahu tas mana yang akan dia bawa pulang. Aku hanya bisa pasrah pada yang maha kuasa.
hari berikutnya, kami masih seperti
sebelumnya. Saling tidak ambil perhatian. Dua hari berlalu, sama saja.
bahkan Berminggu-minggu. aku sedikit curiga, Ku coba mengingat apakah masih ada yang salah. Ya
TUHAN…! Aku lupa membubuhi nama lengkap. Padahal dikelasku ada empat orang yang serupa namanya denganku. Aku pun lemas. (Aku).
***
Ketika ku pulang
sekolah. Aku menemukan sepucuk surat di dalam tas. Ku lihat namanya.
Sepertinya ku kenal. Kemudian aku juga ceritakan ini sambil berganti tas dengan
temanku. temanku malah menatap aneh. “Ngak mungkin dia. Gayanya aja cuek gitu. Ngak
mungkin,” ujarnya. menurutku juga begitu.
Waktu berlalu, ku
menunggu. Namun ia masih seperti biasa, dingin, seakan tak peduli. Apa mungkin
ya semua anak lelaki bawaannya memang cuek gitu. “Mungkin memang bukan dia,” pikirku. Hari-hari berlalu, hingga akhirnya kami semua lulus sekolah dan berpisah. (Si Dia)
***
“Ha-ha, masak
iya?” tanyaku. “iya lah, ngak percaya?” sore itu aku menghubungi orang yang
pernah ku kirimi surat waktu masih remaja dulu. Ketika chat di facebook, kami
saling tukar nomor ponsel.
Kini kami sudah
kuliah di kampus yang berbeda. Ia banyak cerita rencana pernikahannya dan aku
banyak tanya tanggapannya soal cewek gebetanku.
“Hmm, aku boleh
tanya?” ku coba memulai.
“hmm, mau tanya
apa?”
ku ceritakan soal surat yang pernah terselip di dalam tasnya. dari suaranya aku merasa Ia juga bingung bagaimana menceritakannya.
“Aku mau tau jawabannya?” ku setengah memaksa. cukup lama ia terdiam.
“hmm, itu kan dah masa lalu,” ujarnya.
Aku paham maksudnya. seandainya ku lebih cepat mempertanyakannya tentu ia kan menjawab berbeda. aku mengerti, bila sedikit saja ku berani mengatakan rasa yang dihati di hadapannya, tentu ku tak perlu waktu lama mengetahui bahwa hatinya sudah ada sebuah nama, yang tak mungkin di hapus.
“ha-ha, iya-ya.”
tapi Bagiku itu sudah cukup. Melepas rasa penasaran sejak bertahun-tahun yang lalu.
Kami pun tidak menyinggung masalah itu lagi. kami berbincang
ngalor ngidul, mulai dari kampus, setelah wisuda mau kerja di mana.
hanya Satu
hal yang tak ku ceritakan. tentang aku yang senantiasa melewati
rumahnya. Aku yang Berharap dirinya ada di sana dengan senyum yang sama saat kami pertama jumpa, senyum yang sama menawannya seperti di sekolah.
Tapi itu hanya masa lalu .
Kita tidak akan pernah bisa menapaki masa depan bisa masih berdiam di masa lalu. Begitu kan? (Aku dan Dia)
...kumpulan: Merangkai puzzel ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims