Oleh: Riki Ariyanto
Cinta datang secara
tiba-tiba, dan diterima secara suka rela. Hubungan, diawali dari kepercayaan,
mencari kecocokan, dan saling melengkapi kebutuhan. Tapi aku memulainya dari sebuah kebodohan.
Ketika
itu, aku masih berseragam putih abu-abu di satu sekolah Negeri di Riau. Berawal
saat aku meminta nomor pada Mora. Adik kelas. Tapi kami satu angkatan dalam
satu kegiatan ekstrakulikuler.
Aku
tertarik dengan seseorang yang sering bersamanya tiap ke kantin. Lalu saat
kegiatan ekstrakulikuler aku mulai tanya-tanya. Sekejap, Mora kirim pesan
singkat berisi nomor serta nama temannya ke ponselku.
Sejak
itu, komunikasiku dengan Mora semakin intens. Aku rutin gali info-info pribadi
tentang temannya. Sekian waktu berjalan, entah kenapa seperti ada rasa lain menelusup
ke jiwaku. Rasa nyaman yang berbeda dari selama aku kenal dia. Mungkinkah ini
cinta?
Aku mulai iseng kirim SMS kata-kata romantis, ke dia. Tak ku kira ia juga balas dengan kata-kata yang tak kalah berprosa. Terkadang aku pura-pura mengerti apa yang ditulisnya. Hal itu rutin kami lakukan tiap Sabtu malam. Meski aku tak jua paham mengapa ini bisa terjadi. Meski setahuku Mora sudah ada yang punya. Namun setidaknya aku merasa bahagia. Perlahan aku tak dapat menyanggah ada perasaan lain yang tertanam di sini (hati).
Aku mulai iseng kirim SMS kata-kata romantis, ke dia. Tak ku kira ia juga balas dengan kata-kata yang tak kalah berprosa. Terkadang aku pura-pura mengerti apa yang ditulisnya. Hal itu rutin kami lakukan tiap Sabtu malam. Meski aku tak jua paham mengapa ini bisa terjadi. Meski setahuku Mora sudah ada yang punya. Namun setidaknya aku merasa bahagia. Perlahan aku tak dapat menyanggah ada perasaan lain yang tertanam di sini (hati).
Tentang
temannya, sudah lama tak ku kejar lagi. Berakhir dengan tidak manis. Seorang
pria lain sudah dulu memboyongnya sebagai pasangan. Menurut informasi yang
kudapat, sejoli itu saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku memang sempat
galau dibuatnya, tapi itu tak lama. Sebab Mora selalu ada saat ku membutuhkan
kehadirannya.
***
Dari
Minggu ke Minggu, bulan berganti, tiap Sabtu malam ku kecanduan menanti dering SMS.
Menanti kata-kata mutiara Mora. Namun entah kenapa hingga pukul sebelas malam tiada
pesan masuk darinya.
Hingga
suatu ketika seorang teman bertanya: “Bodoh kau ki! apa yang kau tunggu lagi? Tembak
lah, orang lain juga melirik dia…”
Sulit
bagiku tuk menjawab dengan alasan yang tepat. Ia pikir logikaku telah dibodohi
perasaan. Jalinan yang hanya bertaut dari kata-kata, yang tidak jelas apakah
saling suka. Logika ku telah dibohongi fatamorgana dirinya.
Temanku
ini masih menanti jawaban.
Lalu
dengan mantap ku jawab: “Cinta tak harus memiliki.”
Kelopak
matanya membuka, lalu ia tertawa terbahak. Raut wajah cemooh darinya muncul. Baginya
itu kata-kata pelarian dari para pengecut cinta. Yang senantiasa menyerah pada ketidakberdayaan.
Aku
acuhkan saja ocehannya sambil terus menatap layar TV. Pikiranku sesaat menerawang.
Mungkin benar aku telah terpaku pada kebahagiaan yang semu.
*****
Siang
itu, aku melangkah perlahan sambil memandang ujung sepatu. Semua siswa sudah
pulang. Sekitar lima meter di belakang, Mora yang masih kenakan seragam putih
abu-abu berjalan sendirian.
Ia
masih belum menyadari aku berada cukup jauh didepannya. Saat aku lirik ke
belakang, samar-samar tampak peluh bercucuran di sekitar keningnya.
Bayang-bayang badan tepat berada di atas
kepala.
Di
beranda, aku mengatur nafas. Kemudian mengambil kunci sepeda motor yang
tergantung dekat foto keluarga. Aku susuri kembali jalan yang tadi ku tempuh secara
perlahan. Berharap bertemu dia di tengah perjalanan.
Hari
kian panas, aku hela nafas panjang. Teriakan para bocah yang mandi di tepi
sungai tak mampu alihkan rasa kesalku. Rencana mengantar Mora pulang telah sirna.
Ini sekian kali, aku gagal berada didekatnya, hanya berdua saja.
Aku
putar arah, sambil mengusap kening dengan lengan baju yang kian basah. Aku masih
terus menatap kaca spion. Berharap semoga ada bayang Mora terpantul di sana.
*****
Aku
bingung memikirkan kado apa yang akan diberikan. Dua Minggu lalu, Mora berulang
tahun yang ke 19. Aku merasa tak enak bila tak beri sesuatu, walau hanya seuntai
bunga liar.
Biar
tak pusing, aku pun mulai meminta saran, kepada beberapa teman kampus.
“Kasih jilbab aja, mantap tu,” ujar rekan sebangkuku usai perkuliahan. Aku coba pertimbangkan.
“Kasih jilbab aja, mantap tu,” ujar rekan sebangkuku usai perkuliahan. Aku coba pertimbangkan.
“Belikan aja bros jilbab,” ini kata temanku
yang lain. Aku jadi bimbang.
Sedangkan aku sudah berencana kasih dia boneka. Mora sangat suka kucing, Di rumahnya saja ada sekitar tiga ekor yang berwarna pirang.
Sedangkan aku sudah berencana kasih dia boneka. Mora sangat suka kucing, Di rumahnya saja ada sekitar tiga ekor yang berwarna pirang.
Pernah
dulu, ia menangis disampingku. Dengan nada terisak ia ceritakan bagaimana
pikirannya kacau ketika tahu “mumut” nya hilang. Mumut, panggilan sayang untuk
kucing jantan yang dimilikinya.
Namun
aku tak boleh terus bingung seperti ini. Setelah ditimbang, berdasarkan
beberapa rekomendasi yang ada, maka aku telah memutuskan, Aku akan kasih dia
yang “itu” saja.
Sorenya,
aku datangi sebuah toko yang bercat merah muda. Lalu Aku Tanya pada seseorang
di meja kasir, “Ada Jilbab, bros, dan
boneka kucing warna pink, mbak?”
*****
Semua
persiapan sudah siap. Kali ini aku bertekad akan mengutarakan isi hati. Terlalu
lama rasanya semua itu ku pendam. Bungkusan kado yang tak begitu besar sedari
tadi telah ku kaitkan di jok sepeda
motor.
Sore
tadi aku sudah telepon dia. Segalanya mesti sesuai rencana. “Halo,” suara yang
mengetarkan hati terdengar. Ku berbincang sejenak tentang kesehariannya. Sampai
akhirnya ku bertanya, ”Siapa cowok sekarang?” Sebenarnya aku sudah ada informasi,
sejak tamat SMA ia tak pernah lagi mau pacaran. Tentu saja aku berharap sampai
sekarang tak ada seorang pun yang berhasil gaet hatinya.
“Mmm….Ada
bang, teman sekelas. Kenapa bang?”
Aku
tercenung.
“Bang?”
“Oh,
ng…gak ada. Selamat ya. Kapan jadiannya?”
“Dua
hari yang lalu bang. Bla….bla…bla…” Ia melanjutkan cerita. Bagaimana teman
sekelasnya itu membuat kejutan untuknya. Sehingga Mora pun luluh dan menerima
cinta darinya.
Ia
terus mengoceh. Aku letakkan ponsel di lantai. Suaranya hanya terdengar sayup.
Tak ku simak lagi apa yang ia katakan. Memang sebenarnya aku berniat “tembak”
dia sejak seminggu yang lalu. Namun aku terlalu banyak bimbang. Hingga terus aku
tunda. Kini semua itu telah menuai penyesalan mendalam. Kata-kata yang telah ku
rangkai semalam, kini tak berguna.
Aku
ambil kado yang terbungkus rapi tadi, sambil berlalu ke kamar. Panggilan
telepon aku matikan, dengan alasan sinyal lagi jelek. Suaranya terdengar
putus-putus. Lalu aku tarik selimut ke badan, hingga menyisakan ujung rambut.
Berharap saat ku terbangun nanti, semua ini hanyalah mimpi.
Aku
pencet tombol kontak di handphone, dan
ketik nama: MORA. Lalu dipilihan menu aku tekan kata: HAPUS.
*****
Tiga minggu berselang, aku
telah bertekad. Seperti kata kawan kos, “Tiap perasaan harus disampaikan, Ki.
Jangan sampai jadi penyakit.”
Aku
telah mencoba berdamai dengan perasaanku. Soal perasaan memang tak selayaknya
dipaksakan. Itu adalah pilihan hati.
Aku
ambil bingkisan kado yang tergeletak di pojok dinding. Dengan pikiran yang
menerawang aku tancap gas menuju kosnya.
Saat Mora di depan pintu, aku sodorkan plastik yang ku
jinjing.
“Hadiah
ulang tahun,” ujarku seraya mencoba tersenyum.
“Terimakasih bang,” pancaran matanya masih mencoba
mencerna momen ini.
Aku
langsung putar badan, tanpa sekali menoleh ke belakang.
Di dalam kado aku menyisipkan sebuah surat. Ya, surat
yang berisi perasaanku selama ini. Mengapa tak aku katakan secara langsung? Sejujurnya
tak mudah buatku mengucapkan lima huruf itu. Bertatapan dengannya saja, telapak
tanganku bisa banjir keringat.
Mora,
Sebenarnya sedari dulu abang ingin curahkan isi
hati.
Abang yakin ini bukan surat yang
pertama yang Mora terima dari seseorang. Ini juga bukan surat pertama yang abang
buat untuk seseorang.
Sejak kita masih mengenakan putih
abu-abu dulu, abang sudah menyadari memiliki perasaan yang berbeda saat kita
saling bertatapan di pintu kelas. Ketika mendengar tawa Mora dari balik kaca
jendela. Waktu abang melihat Mora dari
kejauhan saat bel pulang berdentang. Itu semua rangkaian momen yang istimewa.
Seiring berjalannya waktu,Perasaan itu telah menjadi
beban. Yang kerap buat abang tak lelap
sepanjang malam, kala rindu melanda. Namun apa daya, saat itu Mora memang telah
ada yang punya.
Akhirnya abang coba temukan diri Mora pada orang lain.
Tapi sia-sia. Tak jua abang temukan seseorang yang bisa mengisi kekosongan hati
ini.
Hati ini semakin frustasi. Seolah
sedang membohongi diri sendiri. Meski telah abang coba pahami manusia tidak
akan pernah ada yang benar-benar sama. Batin serasa tersiksa. Saat tersadar
mereka tetaplah orang lain. Karena mereka bukanlah Mora.
Hingga, saat abang menuliskan surat ini. Perasaan itu tetap sama. Meski telah
abang coba menghindar dan menjauhkan semua harapan.
Polemik. Itu jua yang membuat selama tiga tahun ini
abang pendam rasa. Berharap bisa dituai bila tiba waktunya. Selain itu abang
takut menyadari bila rasa ini tak Mora anggap. Abang juga takut kehilangan teman
terbaik yang pernah abang miliki.
Abang tak menuntut kita mengikat tali cinta. Hanya
satu yang abang harap. Izinkanlah abang untuk tetap mencintai Mora. Sebagaimana
kisah ini bermula. Meski Mora tak menerima sekeping cinta ini pun tak mengapa.
Semoga surat ini tidak menghadirkan kebencian
diantara kita. Apapun keputusan Mora akan abang terima. Walau Mora memutuskan supaya
abang pergi menghilang dari kehidupan Mora, abang telah siap.
By Riki Orota
Beberapa menit kemudian,
beberapa SMS secara bergantian masuk. Aku tahu semua itu dari Mora. Aku pun
mulai membaca.
Ra ngak akan pernah menyalahkan atau marah terhadap
abang. Karena setiap orang berhak mencintai siapa saja, ngak ada yang perlu
dimaafkan.
Karena abang ngak salah mencintai Ra, seperti yang
abang ketahui Ra udah mempunyai seseorang. Justru yang seharusnya minta maaf
itu Ra, maafkan Ra ya bang?
Ra ngak akan pernah benci sama abang. Bahkan Ra
takut abang yang akan membenci Ra. Abang ngak akan membenci Ra kan? Abang mau
kan jadi sahabat Ra?
Selama ini aku pikir sudah tahu semua tentangnya. Ia yang
sangat suka menangis bila hatinya tertekan. Kegemarannya bercerita panjang
lebar tentang “mumut,” kucing jantan di kampung. Matanya yang seketika antusias
bila melihat benda yang berwarna merah muda.
Realitanya,
aku tak tahu apa-apa. Aku tak pernah tahu ternyata hatinya telah berada di
tempat terkunci rapat. Diam di sana, kehangatan yang nyaman. Pada seorang teman
ku di masa lalu: namanya DANU.
*****
Kini
umurku tak belasan lagi. Aku kembali tergiang cerita beberapa tahun silam itu.
Saat kebodohanku bermula. Terpaan gerimis Malam ini menyejukkan hati dan
mendinginkan kepala. Ku menanti bulan purnama, tapi hanya redupnya bintang yang
tiba.
“Bang, Ra mau bilang sesuatu ni
sama abang. Ra harap dengan Ra bilang semuanya abang gak jauhin Ra, janji dulu ya.”
Lalu aku pun berjanji
untuknya.
“Ra udah jadian sama bang Danu. Kita
masih bisakan jadi teman? Pengennya sih bilang dari dulu tapi Ra takut ja ntar
abang gak mau lagi teman sama Ra lagi."
Sejujurnya
dadaku ku tak lagi serasa sesak mendengar itu. Sakitnya cinta tak sampai tak
lagi ku rasa. Semuanya telah terkikis oleh waktu.
Ra jahat ya. Abang udah baik sama Ra
tapi Ra gak juga bisa punya perasaan sama abang. Ra memang jahat."
Aku
bilang padanya, semua itu sudah menjadi masa lalu. Jika memang aku tak terima kenyataan, tentu sedari dulu aku telah pergi dari lini kehidupannya. Tak
merasuki di denyut tawanya. Tak ada yang jahat dari kisah ini. Yang
ada hanyalah cocok atau tidak cocok.
Meski
tetap saja ada yang disakiti. Tidak begitu juga. Ini soal perasaan, tak bisa
dipaksa. Karena cinta datang secara tiba-tiba, dan diterima secara suka rela.
Siapa
yang bisa menjamin seandainya Mora terima sepotong hati ku, kami tak akan putus? Adakah yang akan menjamin ia selalu bahagia bila
bersamaku. Aku sendiri masih ragu.
Didunia ini hanyalah ketidakpastian yang pasti.
Namun bukan berarti kita harus mengalah pada persepsi takdir. Sebam selalu
kesempatan untuk memperbaiki itu semua. Walau pun suatu cinta yang tak sampai.
Aku ambil buku yang berserakan di sekitar televisi.
Aku mulai menuliskan gundah gulana di dada:
dia sengaja
melepaskan cinta yang baru.
Yang telah
sekian lama mengobati luka hatinya.
Ia pilih kembali
mengenggam cinta lama, yang dulu menyakitinya.
Dengan teguh ia
tetap merasa bahwa cinta adalah keajaiban.
Padahal caranya timbulkan luka.
membingungkan, sungguh membingungkan.
Padahal caranya timbulkan luka.
membingungkan, sungguh membingungkan.
Pekanbaru, 19
Maret 2012 (Riki-orota)
Selalu
ada tempat untuk segala keraguan. Bila yang ku terapkan ini suatu kebodohan,
rasanya menjadi bodoh selamanya pun tak mengapa. Terkadang
membahagiakan seseorang, mesti merelakan sebagian perasaan. Bila itu bisa menukarkan kesedihannya menjadi senyuman
yang tiada tara, rasanya, semua perasaan ku pun dikorbankan tak mengapa. :)
Jiaaah menggalau dia :p ga nyangka bg riki melow begini
BalasHapus:p senang deh di komen Melati ^_^ Trims sudi mampir
Hapus