kato

Jika Umurmu Tak Sepanjang Umur Dunia, Maka Sambunglah dengan tulisan

Selasa, 26 November 2013

Cinta yang Bodoh dan Seuntai Ragu


Oleh: Riki Ariyanto
Cinta datang secara tiba-tiba, dan diterima secara suka rela. Hubungan, diawali dari kepercayaan, mencari kecocokan, dan saling melengkapi kebutuhan. Tapi  aku memulainya  dari sebuah kebodohan.
Ketika itu, aku masih berseragam putih abu-abu di satu sekolah Negeri di Riau. Berawal saat aku meminta nomor pada Mora. Adik kelas. Tapi kami satu angkatan dalam satu kegiatan ekstrakulikuler.
Aku tertarik dengan seseorang yang sering bersamanya tiap ke kantin. Lalu saat kegiatan ekstrakulikuler aku mulai tanya-tanya. Sekejap, Mora kirim pesan singkat berisi nomor serta nama temannya ke ponselku.
Sejak itu, komunikasiku dengan Mora semakin intens. Aku rutin gali info-info pribadi tentang temannya. Sekian waktu berjalan, entah kenapa seperti ada rasa lain menelusup ke jiwaku. Rasa nyaman yang berbeda dari selama aku kenal dia. Mungkinkah ini cinta?

Aku mulai iseng kirim SMS kata-kata romantis, ke dia. Tak ku kira ia juga balas dengan kata-kata yang tak
kalah berprosa. Terkadang aku pura-pura mengerti apa yang ditulisnya. Hal itu rutin kami lakukan tiap Sabtu malam. Meski aku  tak jua paham mengapa ini bisa terjadi. Meski setahuku
Mora sudah ada yang punya. Namun setidaknya aku merasa bahagia. Perlahan aku tak dapat menyanggah ada perasaan lain yang tertanam di sini (hati).
Tentang temannya, sudah lama tak ku kejar lagi. Berakhir dengan tidak manis. Seorang pria lain sudah dulu memboyongnya sebagai pasangan. Menurut informasi yang kudapat, sejoli itu saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku memang sempat galau dibuatnya, tapi itu tak lama. Sebab Mora selalu ada saat ku membutuhkan kehadirannya.
***
Dari Minggu ke Minggu, bulan berganti, tiap Sabtu malam ku kecanduan menanti dering SMS. Menanti kata-kata mutiara Mora. Namun entah kenapa hingga pukul sebelas malam tiada pesan masuk darinya.
Hingga suatu ketika seorang teman bertanya: “Bodoh kau ki! apa yang kau tunggu lagi? Tembak lah, orang lain juga melirik dia…”
Sulit bagiku tuk menjawab dengan alasan yang tepat. Ia pikir logikaku telah dibodohi perasaan. Jalinan yang hanya bertaut dari kata-kata, yang tidak jelas apakah saling suka. Logika ku telah dibohongi fatamorgana dirinya.
Temanku ini masih menanti jawaban.
Lalu dengan mantap ku jawab: “Cinta tak harus memiliki.”
Kelopak matanya membuka, lalu ia tertawa terbahak. Raut wajah cemooh darinya muncul. Baginya itu kata-kata pelarian dari para pengecut cinta. Yang senantiasa menyerah pada ketidakberdayaan.  
Aku acuhkan saja ocehannya sambil terus menatap layar TV. Pikiranku sesaat menerawang. Mungkin benar aku telah terpaku pada kebahagiaan yang semu.
*****
Siang itu, aku melangkah perlahan sambil memandang ujung sepatu. Semua siswa sudah pulang. Sekitar lima meter di belakang, Mora yang masih kenakan seragam putih abu-abu berjalan sendirian.
Ia masih belum menyadari aku berada cukup jauh didepannya. Saat aku lirik ke belakang, samar-samar tampak peluh bercucuran di sekitar keningnya. Bayang-bayang  badan tepat berada di atas kepala.
 “Sreet,” ku berlari menuju rumah, secepat yang ku bisa.
Di beranda, aku mengatur nafas. Kemudian mengambil kunci sepeda motor yang tergantung dekat foto keluarga. Aku susuri kembali jalan yang tadi ku tempuh secara perlahan. Berharap bertemu dia di tengah perjalanan.
Hari kian panas, aku hela nafas panjang. Teriakan para bocah yang mandi di tepi sungai tak mampu alihkan rasa kesalku. Rencana mengantar Mora pulang telah sirna. Ini sekian kali, aku gagal berada didekatnya, hanya berdua saja.
Aku putar arah, sambil mengusap kening dengan lengan baju yang kian basah. Aku masih terus menatap kaca spion. Berharap semoga ada bayang Mora terpantul di sana.
*****
Aku bingung memikirkan kado apa yang akan diberikan. Dua Minggu lalu, Mora berulang tahun yang ke 19. Aku merasa tak enak bila tak beri sesuatu, walau hanya seuntai bunga liar.
Biar tak pusing, aku pun mulai meminta saran, kepada beberapa teman kampus.
            “Kasih jilbab aja, mantap tu,” ujar rekan sebangkuku usai perkuliahan. Aku coba pertimbangkan.
 “Belikan aja bros jilbab,” ini kata temanku yang lain. Aku jadi bimbang.
            Sedangkan aku sudah berencana kasih dia boneka.
Mora sangat suka kucing, Di rumahnya saja ada sekitar tiga ekor yang berwarna pirang.
Pernah dulu, ia menangis disampingku. Dengan nada terisak ia ceritakan bagaimana pikirannya kacau ketika tahu “mumut” nya hilang. Mumut, panggilan sayang untuk kucing jantan yang dimilikinya.
Namun aku tak boleh terus bingung seperti ini. Setelah ditimbang, berdasarkan beberapa rekomendasi yang ada, maka aku telah memutuskan, Aku akan kasih dia yang “itu” saja.
Sorenya, aku datangi sebuah toko yang bercat merah muda. Lalu Aku Tanya pada seseorang di meja  kasir, “Ada Jilbab, bros, dan boneka kucing warna pink, mbak?”
*****
Semua persiapan sudah siap. Kali ini aku bertekad akan mengutarakan isi hati. Terlalu lama rasanya semua itu ku pendam. Bungkusan kado yang tak begitu besar sedari tadi telah ku kaitkan  di jok sepeda motor.
Sore tadi aku sudah telepon dia. Segalanya mesti sesuai rencana. “Halo,” suara yang mengetarkan hati terdengar. Ku berbincang sejenak tentang kesehariannya. Sampai akhirnya ku bertanya, ”Siapa cowok sekarang?” Sebenarnya aku sudah ada informasi, sejak tamat SMA ia tak pernah lagi mau pacaran. Tentu saja aku berharap sampai sekarang tak ada seorang pun yang berhasil gaet hatinya.
“Mmm….Ada bang, teman sekelas. Kenapa bang?”
Aku tercenung.
“Bang?”
“Oh, ng…gak ada. Selamat ya. Kapan jadiannya?”
“Dua hari yang lalu bang. Bla….bla…bla…” Ia melanjutkan cerita. Bagaimana teman sekelasnya itu membuat kejutan untuknya. Sehingga Mora pun luluh dan menerima cinta darinya.
Ia terus mengoceh. Aku letakkan ponsel di lantai. Suaranya hanya terdengar sayup. Tak ku simak lagi apa yang ia katakan. Memang sebenarnya aku berniat “tembak” dia sejak seminggu yang lalu. Namun aku terlalu banyak bimbang. Hingga terus aku tunda. Kini semua itu telah menuai penyesalan mendalam. Kata-kata yang telah ku rangkai semalam, kini tak berguna.
Aku ambil kado yang terbungkus rapi tadi, sambil berlalu ke kamar. Panggilan telepon aku matikan, dengan alasan sinyal lagi jelek. Suaranya terdengar putus-putus. Lalu aku tarik selimut ke badan, hingga menyisakan ujung rambut. Berharap saat ku terbangun nanti, semua ini hanyalah mimpi.
Aku pencet tombol kontak di handphone, dan ketik nama: MORA. Lalu dipilihan menu aku tekan kata: HAPUS.
                                                                         *****
            Tiga minggu berselang, aku telah bertekad. Seperti kata kawan kos, “Tiap perasaan harus disampaikan, Ki. Jangan sampai jadi penyakit.”
Aku telah mencoba berdamai dengan perasaanku. Soal perasaan memang tak selayaknya dipaksakan. Itu adalah pilihan hati.
Aku ambil bingkisan kado yang tergeletak di pojok dinding. Dengan pikiran yang menerawang aku tancap gas menuju kosnya.
            Saat Mora di depan pintu, aku sodorkan plastik yang ku jinjing.
“Hadiah ulang tahun,” ujarku seraya mencoba tersenyum.
Raut wajahnya menunjukkan keheranan. Wajar saja, tanggal lahirnya sudah lewat sebulan yang lalu.
 “Terimakasih bang,” pancaran matanya masih mencoba mencerna momen ini.
Aku langsung putar badan, tanpa sekali menoleh ke belakang.
            Di dalam kado aku menyisipkan sebuah surat. Ya, surat yang berisi perasaanku selama ini. Mengapa tak aku katakan secara langsung? Sejujurnya tak mudah buatku mengucapkan lima huruf itu. Bertatapan dengannya saja, telapak tanganku bisa banjir keringat.
Mora,
Sebenarnya sedari dulu abang ingin curahkan isi hati.
            Abang yakin ini bukan surat yang pertama yang Mora terima dari seseorang. Ini juga bukan surat pertama yang abang buat untuk seseorang.
            Sejak kita masih mengenakan putih abu-abu dulu, abang sudah menyadari memiliki perasaan yang berbeda saat kita saling bertatapan di pintu kelas. Ketika mendengar tawa Mora dari balik kaca jendela. Waktu  abang melihat Mora dari kejauhan saat bel pulang berdentang. Itu semua rangkaian momen yang istimewa.
Seiring berjalannya waktu,Perasaan itu telah menjadi beban. Yang kerap  buat abang tak lelap sepanjang malam, kala rindu melanda. Namun apa daya, saat itu Mora memang telah ada yang punya.
Akhirnya abang coba temukan diri Mora pada orang lain. Tapi sia-sia. Tak jua abang temukan seseorang yang bisa mengisi kekosongan hati ini.
            Hati ini semakin frustasi. Seolah sedang membohongi diri sendiri. Meski telah abang coba pahami manusia tidak akan pernah ada yang benar-benar sama. Batin serasa tersiksa. Saat tersadar mereka tetaplah orang lain. Karena mereka bukanlah Mora.
            Hingga, saat abang menuliskan  surat ini. Perasaan itu tetap sama. Meski telah abang coba menghindar dan menjauhkan semua harapan.
Polemik. Itu jua yang membuat selama tiga tahun ini abang pendam rasa. Berharap bisa dituai bila tiba waktunya. Selain itu abang takut menyadari bila rasa ini tak Mora anggap. Abang juga takut kehilangan teman terbaik yang pernah abang miliki.
Abang tak menuntut kita mengikat tali cinta. Hanya satu yang abang harap. Izinkanlah abang untuk tetap mencintai Mora. Sebagaimana kisah ini bermula. Meski Mora tak menerima sekeping cinta ini pun tak mengapa.
Semoga surat ini tidak menghadirkan kebencian diantara kita. Apapun keputusan Mora akan abang terima. Walau Mora memutuskan supaya abang pergi menghilang dari kehidupan Mora, abang telah siap.
By Riki Orota

Beberapa menit kemudian, beberapa SMS secara bergantian masuk. Aku tahu semua itu dari Mora. Aku pun mulai membaca.
Ra ngak akan pernah menyalahkan atau marah terhadap abang. Karena setiap orang berhak mencintai siapa saja, ngak ada yang perlu dimaafkan.
Karena abang ngak salah mencintai Ra, seperti yang abang ketahui Ra udah mempunyai seseorang. Justru yang seharusnya minta maaf itu Ra, maafkan Ra ya bang?
Ra ngak akan pernah benci sama abang. Bahkan Ra takut abang yang akan membenci Ra. Abang ngak akan membenci Ra kan? Abang mau kan jadi sahabat Ra?

         
   Selama ini aku pikir sudah tahu semua tentangnya. Ia yang sangat suka menangis bila hatinya tertekan. Kegemarannya bercerita panjang lebar tentang “mumut,” kucing jantan di kampung. Matanya yang seketika antusias bila melihat benda yang berwarna merah muda.
Realitanya, aku tak tahu apa-apa. Aku tak pernah tahu ternyata hatinya telah berada di tempat terkunci rapat. Diam di sana, kehangatan yang nyaman. Pada seorang teman ku di masa lalu: namanya DANU.
                                                                         *****
Kini umurku tak belasan lagi. Aku kembali tergiang cerita beberapa tahun silam itu. Saat kebodohanku bermula. Terpaan gerimis Malam ini menyejukkan hati dan mendinginkan kepala. Ku menanti bulan purnama, tapi hanya redupnya bintang yang tiba.
“Bang, Ra mau bilang sesuatu ni sama abang. Ra harap dengan Ra bilang semuanya abang gak jauhin Ra, janji dulu ya.”
Lalu aku pun berjanji untuknya.
“Ra udah jadian sama bang Danu. Kita masih bisakan jadi teman? Pengennya sih bilang dari dulu tapi Ra takut ja ntar abang gak mau lagi teman sama Ra lagi."
Sejujurnya dadaku ku tak lagi serasa sesak mendengar itu. Sakitnya cinta tak sampai tak lagi ku rasa. Semuanya telah terkikis oleh waktu.
Ra jahat ya. Abang udah baik sama Ra tapi Ra gak juga bisa punya perasaan sama abang. Ra memang jahat."
Aku bilang padanya, semua itu sudah menjadi masa lalu. Jika memang aku tak terima kenyataan, tentu sedari dulu aku telah pergi dari lini kehidupannya. Tak merasuki di denyut tawanya. Tak ada yang jahat dari kisah ini. Yang ada hanyalah cocok atau tidak cocok.
Meski tetap saja ada yang disakiti. Tidak begitu juga. Ini soal perasaan, tak bisa dipaksa. Karena cinta datang secara tiba-tiba, dan diterima secara suka rela.
Siapa yang bisa menjamin seandainya Mora terima sepotong hati ku, kami tak akan putus? Adakah yang akan menjamin ia selalu bahagia bila bersamaku. Aku sendiri masih ragu.
 Didunia ini hanyalah ketidakpastian yang pasti. Namun bukan berarti kita harus mengalah pada persepsi takdir. Sebam selalu kesempatan untuk memperbaiki itu semua. Walau pun suatu cinta yang tak sampai.
Aku ambil buku yang berserakan di sekitar televisi. Aku mulai menuliskan gundah gulana di dada:
dia sengaja melepaskan cinta yang baru.
Yang telah sekian lama  mengobati luka hatinya.
Ia pilih kembali mengenggam cinta lama, yang dulu menyakitinya.
Dengan teguh ia tetap merasa bahwa cinta adalah keajaiban.
Padahal caranya timbulkan luka.
membingungkan, sungguh membingungkan.
Pekanbaru, 19 Maret 2012 (Riki-orota)
Selalu ada tempat untuk segala keraguan. Bila yang ku terapkan ini suatu kebodohan, rasanya menjadi bodoh selamanya pun tak mengapa. Terkadang membahagiakan seseorang, mesti merelakan sebagian perasaan. Bila itu bisa menukarkan kesedihannya menjadi senyuman yang tiada tara, rasanya, semua perasaan ku pun dikorbankan tak mengapa. :)

2 komentar:

  1. Jiaaah menggalau dia :p ga nyangka bg riki melow begini

    BalasHapus
    Balasan
    1. :p senang deh di komen Melati ^_^ Trims sudi mampir

      Hapus

Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims