kato

Jika Umurmu Tak Sepanjang Umur Dunia, Maka Sambunglah dengan tulisan

Jumat, 22 November 2013

Hujan yang Kembali Deras


Oleh Riki Ariyanto

Namanya Nilam. Seorang teller di salah satu bank swasta.kami sudah sering jumpa.
Lokasi tempatnya bekerja tak seberapa jauh dari kampusku.
Lebih tepatnya aku senantiasa cari alasan supaya bisa bertemu dia.
hari ini pun begitu. Meski sejak pagi mendung tak jua berganti, semangatku untuk bertemu pantang surut. "Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?" ujar nilam.
"e... mau print out buku tabungan," ujarku gelagapan.
nilam meraih buku yang ku sodorkan.
aku berdiri memperhatikan kerjaannya.
Ia tak berubah, masih sama, manis. Hari ini, ia pakai riasan sekedarnya. Ia kenakan jilbab biru muda, meski dengan gaya sederhana, ditambah hidungnya mancung memberikan kesan dan pesona tersendiri bila bertatap muka dengannya. terutama untukku.

"ini mas," sapanya. Lamunanku buyar. Aku lihat saldo. Masih tersisa 30ribu. 
"e... kalau saldo 30ribu bisa diambil?" sengaja aku berlama. Rugi rasanya sekejap saja berjumpa. Nilam tersenyum,"ngak bisa mas, minimal saldo 50ribu. Maaf yang ngantri masih banyak."
Aku menoleh ke belakang, orang-orang yang antre sudah mulai menunjukkan muka tak sedap.

Aku berlalu ke pintu. Eh, di luar malah hujan lebat. Aku yang tak bawa mantel hanya bisa mencangkung di
tepi dinding.

Aduhai Nilam, entah mengapa ia senantiasa meninggalkan kesan rindu. Semua kriteria wanita pendamping, ada padanya. aku ambil bimbit dari saku. aku ketik kisah ini bermula.

Tak terasa hari mulai sore. aku hentikan ketikan, sambil melihat kondisi.
hujan masih saja turun keroyokan. aku lihat sebelah kanan, ternyata aku tak sendiri. masih ada nilam rupanya.
aku terdiam sesaat. "NILAM," bisikku.
Entah karena apa, sepertinya dia mendengar. "eh mas, numpang teduh ya?" ujarnya tersenyum memunculkan dua garis mata.
aku hanya bisa tersenyum. Jantungku berdegup kencang. Kerongkongan serasa tercekat.
INI KESEMPATAN. Ia harus tahu semua isi hati ini. Sekarang atau tidak sama sekali!
Hujan sore itu semakin deras menimbulkan bunyi tak beraturan. Sama seperti isi hatiku kini.

***
Nilam mengepal tangannya. Ia mungkin kedinginan. Ia sering menatap arah jalan. Aku membatu. Seakan tak punya keberanian sekedar katakan "Hai." Rembesan air hujan terus membasahi ujung celana.
Perdebatan di hati terus saja berkecamuk.
Oke. aku bulatkan tekad.
"E,,, mbak, nilam kan?"
yang di sapa, menatapku sejenak, "Iya. kok tau?"
"Itu," aku mengarahkan telunjuk d tagname yang terkait d bajunya.
"oh." Ia melirik sebentar. "iya ni, lupa tadi nyopotnya." 
"Jangan panggil mbak lah, kayaknya kita seumuran, kok," ujarnya sambil mencoba lepaskannya. .
JESHH. mukaku rasanya bersemu hangat. Percakapan kami mengalir begitu saja. Nilam orangnya cenderung memposisikan diri sebagai wanita yang dewasa. Itu pula yang ku suka darinya.
 
Dari teori tentang "tahap-tahap Pedekate ke Cewek" yang tak sengaja aku baca. Aku harus lanjutkan
obrolan ini sambil saling bertukar nomor ponsel.

"e, nilam."
"Ya?" Nilam condongkan wajahnya. Mungkin yang kukatakan tak terdengar jelas, tenggelam bersama hujan. Bulu matanya lentik.
aku menarik nafas sebentar. "boleh..." aku benar-benar gugup. kerongkongan secara tercekat.
"ya? kenapa?" nilam mengubah posisinya. Aroma mawar tercium jelas oleh ku saat ini.
"boleh ngak aku....."
CIIIITTT!!!
suara ban berdecit keras. sebuah mobil berhenti tak jauh dari kami berdiri. Seorang lelaki dengan gaya parlente keluar, sambil berusaha membuka payung birunya.
"eh, aku duluan ya," nilam lambaikan tangan. Aku coba berikan senyum perpisahan. lelaki itu tampak berbincang dengan nilam, sambil sesekali menunjuk ke arahku yang tertunduk lesu.
Dari ekor mata ku melihat Nilam mengangkat sedikit bahu sambil gelengkan kepala. di kedua jari manis mereka bersemat cincin emas. Hal yang seharusnya ku sadari sedari awal.
Keduanya masuk ke mobil dan berlalu. Ya Nilam telah pergi. Pergi dengan meninggalkan hati yang hancur berkeping.
 
Aku memandang bayang diri di kaca yang berkabut di samping ku berdiri.

Aku dan lelaki parlente itu, sungguh berbeda. Ia gagah dengan Jasnya. aku hanya kenakan kaos oblong bertulis "I LOVE PAPA MAMA."
sungguh bagai bumi dan langit.
hari ini, aku punya alasan lagi untuk membenci hujan. Dan tentu saja aku tak akan pernah kemari lagi.
cukup sudah. Meski patah hati ini, bukan yang pertama. Tapi rasanya tetap sama. PERIH.
Aku beranjak dari teras. Ku biarkan tubuhku basah di guyur hujan. Aku keluarkan sepeda motor dari parkiran. Ini caraku mendinginkan hati. Ya, membiarkan rasa ini pergi berkawan derai hujan.
Meski sejenak, Aku ingin lupakan ini semua .
"BRUUUMMM," aku pacu sepeda motor, tanpa arah dan tujuan. Kini hatiku benar-benar beku.

Aku tak peduli deras hujan. Sebagian orang sedari tadi berteduh.
Tapi aku tidak.
Sebab Hujan di hati tak jua reda.
Baru saja tadi ku mengenal arti rindu, Sesaat kemudian telah berhadap pilu. Benar-benar lirih.
Bukan perpisahan ini yang ku tangisi, hanya perjumpaan yang ku sesali.
Oh Nilam,...
Kenapa dulu, kita saling pandang.
Pernah tukar canda dan tawa. Hingga sempat berikan harapan.
Aih, Nilam.
Ingin rasanya kularikan raga ini ke masa lalu. Mencabut patok awal kita berjumpa.
Nilam nilam.

Aku tak menyadari ada mobil menikung seketika.
"WOI, KAU TAROK DI MANA MATA MU! Bla bla bla," ujar pengendara seraya melotot.
Ia terus saja mengoceh sambil lalu.
Aku tergagu.
"Kenapa tidak kau serempet saja aku. Biar Amnesia. Agar rasa sakit ini terlupa."
Hanya asap pekat dari deru knalpot jadi jawaban.
Air hujan masih berderai membasahi pipi.
Aku putuskan mengalah pada keadaan. Sepeda motorku tepikan di samping halte bus.
Aku menatap langit-langit yang penuh sarang laba-laba.
Ku terus merenung, sambil kedua tangan mendekap dada. Menggigil.
Hingga beberapa saat trdengar suara cewek.

"Bang, abang yang kuliah di situkan?" dia tunjuk ke seberang jalan.

Aku menoleh sambil mengerutkan dahi.
"abang yg ikut di koran kampus tu kan?"
'he-eh," jawabku. "ada apa ya?"
"ngak ada sih," ujarnya.
"cuma sering liat blog abang," sambungnya Sambil trsenyum.
"Galau-galau ya isinya," ia ketawa kecil.
"Iseng iseng aja tu. Biar ada isinya." uraiku sambil mnoleh padanya.
Ia tampaknya kedinginan. Kedua tangannya saling genggam di depan tas sandang yang basah.

Aneh. Cuma dia yang terus terang bilang tulisanku sedih. Padahal susah payah aku buat tulisan jadi komedi.
Bukan perkara sok humoris. Ya, hanya saja terkadang hal galau akan enak dibawa lucu aja.
Kami terus ngobrol. Namanya Endira.
Dia merupakan pendengar yang baik. Salah satu tipe wanita yang ku cari.
terdengar rinai-rinai tersisa di atap.

"Hmm, Endira ngak pulang?"

Yang ditanya malah liat ujung jalan.
"Tadi nunggu teman, tapi kayaknya ngak jadi jemput ni." Alisnya yang tipis melengkung lucu.
"Mau diantarkan sekalian?"
Ia diam seribu bahasa.
"Ngak ngerepotin? Nanti ad yg marah?" tatapnya pnuh goda.
aku hanya bisa tertawa. "Manalah ada. Kamunya mau ngak?" aku tunjuk jok belakang.
"ya udah. Tapi jangan ngebut ya," ancamnya dengan mimik wajah serius.
aku pun mengangguk. Setelah suara berdecit terdengar, langsungku tancap gas. 
Buat Endira, spontan menepuk pundakku. memunculkan tawa kami berdua.
Akhirnya aku punya alasan untuk mencintai gerimis. Salam rindu.
Terimakasih Endira (END).


*cerita ini benar-benar fiktif. Jika terdapat kesamaan karakter maupun alur kisah itu murni karena terinspirasi ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims