kato

Jika Umurmu Tak Sepanjang Umur Dunia, Maka Sambunglah dengan tulisan

Jumat, 14 November 2014

Aku Benci Tempat Ini #1

 Riki Ariyanto

Ini malam ke tigaku di rumah sakit. Menemani seorang teman yang sedang terkapar.
Tempat ini lah yang paling ku hindari. Sedari kecil, aku paling benci tempat yang berbau OBAT ini.
Ketika itu kami sekeluarga terpaksa berangkat
ke Kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau. Negeri lancang Kuning, yang terkenal kaya akan minyak buminya.

Umurku masih balita, sedangkan adikku yang kedua masih dalam ayunan tangan mamak kami.
Bapak ku terkapar di satu rumah sakit swasta. Bibi berulang kali menyebut kata sabar kepada keluarga kami. "Ingat kamu jangan MEROKOK. Nanti seperti bapakmu masuk rumah sakit," ujarnya sambil meletakkan telapak tangan di atas ubunku.

Aku angguk saja. meski pada waktu itu kata SABAR ku kira sejenis permainan atau gula-gula keluaran terbaru. Yang jelas aku hanya melihat mamak kami menangis di samping nenek. Dan aku benci tempat berbau obat yang buat mamak mengeluarkan air mata.

Benci. Karena jauh dari teman-teman, padahal aku ada pertandingan kelereng saban sore. Seharusnya

kali ini aku tak melewatinya. Kemarin aku kalah banyak. Lalu aku menangis pulang kerumah. Memeluk bapak yang masih membuka tali sepatunya. menceritakan bahwa aku kalah, karena mereka main curang. Sebelum sempat menasehatiku, tetiba bapak batuk keras.
Berulang kali. Bahkan kali terakhir batuknya mengeluarkan darah. Merah dan kental bercampur lendir. Aku panik, memanggil mamak yang sedang menayun adikku berulang kali. Sesaat setelah tak berapa lama bapak tersungkur, dari kursi plastik putih kumal itu. Hingga akhirnya kami di sini. Mengapa? Mengapa harus di rumah sakit ini. Aku mau main kelereng! Gerutuku dalam hati.

Ah, ingatan belasan tahun silam itu membuatku selaksa orang tua. Hanya mengingat-ingat masa silam. Lalu tersadar, lamunan tak mengubah apapun.

Untuk memperbaiki mood aku buka jendela yang ada di samping kamar. Dari atas aku melihat "dia". Saat itu ia tertawa lebar. Matahari sedang terik.

Dari ruangan bernama melati di lantai empat, aku leluasa diam diam menatap dirinya yang ada di satu tingkat di bawah. Jendelanya terbuka. Sepanjang siang aku hanya menatapnya dari sana. Memperhatikan "dia" yang selalu tertawa.

Bola matanya bulat, menari liar bila bercerita panjang dengan kerabat yang dikunjunginya. Jemari

lentik, menunjuk kesana kemari, seakan dirinya benar-benar pencerita ulung.
Sesekali jilbab merah marun longgarnya tertiup angin. Kebaya berwarna sama yang dikenakannya juga berwarna sama dengan motif mawar. Meski terpisah jarak, dirinya tetap anggun.

Sesaat gerak gerik curi pandangku terserobok pandang dengannya. Seberapa detik. Reflek aku lempar senyum. Dengan mata bertanya-tanya, "dia" akhirnya membalas, sepertinya dia punya lesung pipi nan menawan. Lalu menganggukkan kepala, seraya izin pamit. Aku balas anggukan itu. Sungguh gadis yang manis sekali.

Besok aku harus ke sini lagi. Melihat "dia." Benci? Ah, benci setiap saat itukan tak baik, iya kan . Apalagi Kalau ada gadis nan elok di tempat ini.

Oh, sepertinya malam ini aku nginap di rumah sakit ini. Purnama ke tiga, pada Sabtu malam, semoga hujan tak mengguyur kota bertuah ini~
(baca: Aku benci tempat ini #2)
(baca: Aku benci tempat ini #3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims