kato

Jika Umurmu Tak Sepanjang Umur Dunia, Maka Sambunglah dengan tulisan

Sabtu, 22 Oktober 2016

Tentu Saja Bukan Aku

Oleh: Riki Ariyanto



Angin berhembus sepoi kali ini. Setelah diam sejenak, dirinya mulai berkata,

"Adek jahat ya bang?"

Aku yang mengusik genangan air dengan ranting kering, melihat sejenak lalu menjawab, "Apanya?"

Dia diam begitu lama. Bahkan helaan nafas bisa terdengarsatu sama lain. Hanya saja dia tak tahu pertanyaan darinya buat degup jantung ini berdetak kencang tak karuan.

"Adek gak bisa..." gadis pujaanku beringsut menjauh jaga jarak dari tempat duduk.

Muda mudi satu dua lalu lalang bergantian mengisi jeda. Gemerisik dedaun pohon terembesi ikut mengusik kisah persahabatan yang sejak lama ada.

"Adek enggak bisa cintai abang," dirinya berhenti sejenak dan melanjutkan, "Padahal abang sudah begitu baik sama adek," sebutnya.

Semestinya aku tidak harus kaget mendengar kejujuran itu darinya. Hanya saja mendengar langsung tetap saja buat mata jadi panas, berlinang. Bukan tegar namanya jika sampai aku meneteskan air mata.

Dari ekor mataku, aku pandang dia lekat. Lalu aku palingkan wajah ke horizon danau sore itu, sambil pejamkan mata. "Terus?" tanya ku akhirnya.

Dianya tersentak, mungkin kaget. Telah salah menebak respon dariku. "Abang enggak marah?" pipinya mulai merona.

Duh dinda, gumamku

"Manalah marah. Untuk apa marah, enggak cinta ya sudah, selesai. Kita jalani apa adanya saja," kataku.

"Kalau abang marah, tentu sejak adek tolak pernyataan cinta abang yang tak romantis sebulan lalu. Kita tidak akan pernah ke sini-sini. Tempat di mana adek kebingungan ketinggalan bus kan?" ujarku yang dijawab dengan cubit di lengan kiri.

"Yang terpenting cinta adalah cinta. Kita tak bisa memaksa kepada siapa cinta itu datang dan pergi. Tak cinta ya sudah, mungkin kita masih perlu berjalan lebih jauh. Singgah dari satu hati ke hati yang lain. Sampai akhirnya sadar, sudah terlalu sering merasa sakit hati dan lelah mencari sosok sempurna. Jadi buat apa marah, toh kita sama sama mencari," aku palingkan wajah sambil menatap dua bola mata hitamnya.

Dia masih diam, sambil membalas menatap dengan mata yang sayu.

"Kita jalan lagi yuk. Di taman dekat danau, bunganya lagi mekar," ajakku sambil bangkit berdiri, membetulkan sandaran sepeda.

Tanpa kusadari, terasa rangkulan dari belakang. "Maafkan adek ya bang," bisiknya. "Kita masih bisa sahabatankan," ujar adek sambil mempererat rangkulan.

Kami melintasi danau dengan sepeda, berdua saja. Tepat di hari jadiannya ini dengan orang yang ditaksirnya sejak lama.

Dan tentu saja, bukan aku.

2 komentar:

Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims