kato

Jika Umurmu Tak Sepanjang Umur Dunia, Maka Sambunglah dengan tulisan

Sabtu, 19 Oktober 2013

Nama Saya yang Berarti


Jawaban tak selalu muncul bersamaan dengan pertanyaan. 
Ada proses, bisa saat itu, berjam-jam maupun bertahun-tahun untuk menemukannya. 

“Apalah arti sebuah nama.” Kalimat dari Sastrawan Inggris Shakespeare ini menjadi ikonik di dunia. namun Nama sungguh berarti. 
Sekilas, bila membayangkan tiap manusia di muka bumi tak beridentitas. ini sungguh mengerikan. saling bertegur sapa: “Woy, kamu taik lalat di dagu, sini! atau Bro kepala petak, bisa bantu angkat barang?”. Terdengar menjengkelkan ya.
Saya bersyukur memiliki nama pertama: RIKI AFRIYANTO. Setidaknya ini yang tertulis di akte kelahiran.
Tidak ada momen spesial ketika aku lahir. Tidak ada petir bergemuruh, angin yang berhembus kencang, apa lagi gerhana matahari. 

RIKI, itu kepanjangan dari Riau dan Kincai. Riau merupakan nama provinsi tempat aku lahir, sedangkan Kincai bahasa etnik dari desa Kerinci, yang letaknya di Kabupaten Sungai Penuh, Provinsi Jambi.

AFRI: kata itu di ambil dari penggalan nama ayah saya. Seorang pria yang mengumandang adzan dan khamat di telingga bayi mungil ini. Yang ku balas dengan tangisan yang memecah keheningan malam.

YANTO: sampai hari ini tidak ada penjelasan untuk yang satu ini. Yang jelas ini menjadi panggilan kecil ku di rumah. Namun karena ada streotip di Indonesia, yang punya nama berakhiran O, pasti orang jawa. Saya pun kena getahnya.

Pernah waktu itu jajan pisang molen di samping pagar sekolah. Penjualnya melirik bordiran nama di baju, lalu bertanya: “orang Jawa ya?” aku menggeleng.

ada juga seorang kenalan bertanya: “Kamu orang jawa ya?” aku bilang bukan.
Dia malah terkekeh, ” Hahaha, nama kayak orang Jawa, tapi muka Batak.” Aku tersenyum kecut.  dan bergumam: aku juga bukan batak.
***
Seperti lazimnya terjadi. Selama mengarungi kehidupan terkadang ada orang yang harus menganti nama.
Ada tiga alasan:
pertama, karena namanya terlalu “berat”, sehingga si empunya nama sakit-sakitan.
yang Kedua, Ada yang harus menghilangkan nama belakangnya (marga), agar bisa masuk sekolah negeri. ini di alami teman saya. karena penguasa pada waktu itu, menyatukan Indonesia dari segala aspek. Meski terkadang kebijakannya absurd untuk sebuah negeri yang kaya akan perbedaan.
Yang terakhir di karenakan Human eror. Kesalahan dari orangnya. Baik itu saat menuliskan nama di biodata, salah ketik saat buat Akte Kelahiran, dan sebagainya.

Aku mengalami yang kategori terakhir. Aku tak tahu pasti kapan mulanya.
Saat itu pembagian rapor, kenaikan ke kelas dua Sekolah Dasar. Setelah  buku tipis bersampul kuning ku bawa pulang. Orangtuaku bertanya, kenapa namaku hilang huruf “F” nya?. Aku pun mengeleng. Ibu ku pergi ke Sekolah, mendatangi Wali kelas. ber Tanya, soal nama: RIKI ARIYANTO. Seingatku pihak sekolah akan memperbaikinya. 
 
Seiring berjalannya waktu, nama yang di rapor belum juga diganti. Orang tuakupun akhirnya memaafkan kesalahan itu.
Toh, di negeri ini, jarang sekali orang memanggil nama panggilan dari tengahkan? Akhirnya aku kehilangan satu unsur: Nama ayahku.
***
Terkadang kita sebagai manusia bisa mencak-mencak kepada tuhan bila sesuatu yang kita kehendaki tidak terjadi. Atau suatu yang kita senangi menjadi asing dan berubah menjadi yang kita benci. Namun tuhan pasti punya alasan tersendiri.
Seperti yang tertulis dalam kitab suci: “terkadang apa yang kamu senangi belum tentu baik untukmu, dan adakalanya sesuatu yang kamu anggap buruk itulah yang terbaik buatmu.”
Masih soal huruf F yang hilang dari namaku. Seusai kejadian itu, terkadang jadi bahan pikiran. Kenapa ya?
Padahalkan bagus? Apa ngak bisa dibenarkan? Banyak pertanyaan yang akhirnya  Cuma berputar putar di pikiran. 

Akhirnya jawabannya muncul ketika aku menginjak kelas tiga di SMA. Ternyata ada teman sekelas yang namanya RIKI AFRIANTO. Sebuah kebetulan yang indah. Aku akhirnya bersyukur dengan nama sekarang. 

Tak terbayang, jika masih pakai yang lama. Saat guru ngabsen, “RIKI AFRIANTO?” lalu kami berdua mengacungkan tangan, dan berkata: SAYA! Ternyata rencana tuhan lebih baik.
Namun, tak selamanya sesuatu itu harus diterima begitu saja. Selagi masih bisa di ubah menjadi lebih baik kenapa tidak?

Seteah kejadian hilang satu huruf, aku mulai wanti-wanti menuliskan nama. Terkadang aku cek berulangkali hurufnya: R-I-K-I A-R-I-Y-A-N-T-O, baru bisa tenang.
Yah, walau sudah begitu juga, masih bisa terjadi kesalahan. Peristiwanya masih sama. Saat penerimaan rapor kelas satu MTS. Di sana tertulis RIKI ARIANTO. Huruf “Y” ku entah kemana. Aku datangi wali kelas, menjeaskan bahwa ada kesalahan. Dia Cuma bilang, “ngak apa-apa tu. Besok waktu ujian nasional baru bagus – bagus buat namanya.” Dia yang salah, malah aku yang di suruh memperbaikinya. Tapi tak mengapa. Setidaknya dengan begitu aku mulai belajar jangan terburu-buru.
Ternyata perjuanganku mempertahankan huruf “Y” mendapatkan jawaban. Saat itu aku sudah mesuk kuliah tingkat empat. Aku tergabung ke dalam organisasi Lembaga Pers Mahasiswa. Dan ternyata, di organisasi yang sama, namun di kampus yang berbeda ada rekan yang namanya RIKI ARIANTO.
Tak terbayang, bila aku mengabaikan atas hilangnya huruf “Y.” mungkin dalam suatu forum saat salah satu dari kami mau tandatangan. Panitia pasti kebingungan, “Lho, namanya udah ditandatangan mas!” Malah Jadi rumit.
***
Andai Shakespeare tak ditulis namanya sendiri di tiap karyanya oleh penggemarnya.  Pecinta karyanya harus menyebut apa?

mungkin seperti ini: “hebat ya kisah romeo dan Juliet. Menyentuh,arti cinta abadi mungkin seperti itu ya? senang susah selalu bersama.”
teman yang di sampingnya menimpali,” iya. Aku sampai terharu saat Juliet pilih mati dari pada harus berpisah dengan romeo. Emmm, tapi siapa nama pengarangnya tadi?”
“eee, si anu, bukan?” ia kebingungan.
“he-eh lah, iya si itu, iya aku baru ingat si anu, yang itu dari inggris. apa lah arti sebuah nama” Lalu mereka berdua berjalan kembali sambil terkikik. Sungguh tak mengenakkan bila kita tak punya nama.

Terkadang saat menghadapi suatu persoalan, aku jua sering bertanya apa maksudnya dari semua kejadian itu. Namun rahasia tuhan tetaplah misteri. Yang jawabannya bisa saja diberikan saat itu, maupun bertahun-tahun. Namun setidaknya aku belajar satu hal: semuanya yang dialami pasti ada hikmahnya.
Sampai saat ini, namaku masih RIKI ARIYANTO. Hanya saja panggilan jadi beragam, ada yang manggil: Riki, Yanto, Ari, Iki, Anto, dan Rizki. Yang terakhir ini yang paling absurd. Mungkin dia punya teman yang bernama rizki yang sulit ia lupakan. Tapi tak mengapa, Apapun itu, jika percaya semuanya sudah ada dalam skenario kehidupan. Tinggal cara menjalaninya saja, berakhir indah, atau biasa-biasa saja.

Namun suatu momen tak terduga saat aku di wisuda. Saat aku sedang mengantri untuk dipindahkan tali toga oleh rektorat. Lalu pembawa acara dengan pengeras suara memanggil," RIKI AFRIYANTO!" Sontak aku terdiam sejenak. Itu bukan namaku.

Dari pada bingung, terus petugas di depan juga memberi kode untuk segera naik ke podium. Aku lantas maju saja. Namun dalam hati ku bersyukur, "Penggalan nama ayah yang hilang, belasan tahun silam. Telah  tersebut lagi, walau dari kesalahan."

“ Apalah arti sebuah nama.”

2 komentar:

  1. hem.,,apakah itu aku teman sekelasmu sewaktu kelas 3 SMA dulu??????

    ya..,apakah kita pernah manggung di depan semua murid untuk tunjukin musik bit_box yang kita punya.,
    he he he.,.,

    BalasHapus
  2. Yes, Bung Riki... trims sudah singgah, hehe ^_^

    BalasHapus

Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims