Oleh: Riki Ariyanto
Purnama masih tampak sama.
Sempat diguyur hujan, kami mesti tertatih turun menyusuri hutan Gunung Marapi. Ini kunjungan ke dua di habitat bunga Edelweis, sejak dua tahun lalu.
![]() |
Edelweis di puncak Gunung Marapi Sumbar (Foto: koleksi pribadi) |
Waktu masih pukul 19.07 WIB. Tapi rasanya aku tak kuat tahan kantuk. Membayangkan pulang ke Pekanbaru, dalam bus selama delapan jam, buat rasa lelah menjadi jadi.
Lalu melintas seorang gadis. Rambutnya dikucir kuda. Cantik.
"Ehm! Mirip dia ya," kata Achier, penuh maksud. Aku menoleh sebentar, sambil buang muka. "Enak aja. Ya, gak lah," kataku sambil melirik ke dalam kedai tempat gadis kucir kuda itu. Oh, pesan teh hangat juga.
"Sebenarnya kalau cepat, kemarin bisa dah tu," tanpa ku pinta Achier mulai cerita. Aku yang tahu disindirnya hanya menunduk, sambil merapatkan tangan di antara pahaku. Menggigil.
"Kenapa bisa begitu?" tanyaku. Setelah jeda berapa saat, akhirnya aku menyerah. Jika soal "dia", aku memang sulit berdusta bahwa aku tidak memikirkannya. Mengingatnya saat kami berdua berjumpa, makan mie ayam bersama.
Sambil mendelikkan matanya, Achier seolah berkata dalam hati, "Ha kan. Tertarik juga kau rupanya."
![]() |
Berjalan di Taman Edelweis Gunung Marapi Sumbar (Foto: istimewa) |
Setelah aku memasang muka pasrah, Achier mulai membuka cerita yang selama ini hanya dia pendam seorang:
Memang saat kau dekati dia, ada dua nama yang ikut merebut hatinya. Tapi kau tahu lah, dia bukannya sekali dua kali menjalin cinta.
Dia pernah disakiti. Dan dia tak mau, luka lama itu kembali terbuka. Dia lelah. Harapannya sederhana. Dia menginginkan seseorang yang tulus mencintai, bukan menyakiti.
Saat kau ikut PDKT, aku tahu kawan. Kau pasti menangi pertandingan asmara ini. Satu saja indikatornya, Kau adalah jomblo terlama di antara mereka yang ikut bersaing (Achier tertawa).
Tapi yah. Namanya pertaruhan, walau merasa menang. Tetap saja bisa kalah. Dan itu terjadi. Kau pergi tanpa alasan dari pertarungan itu. Malah pergi menaiki gunung ini (Achier tepuk pundakku). Setelah mendengar "dia" balikan dengan mantannya.
Yang aku tahu dari teman dekatnya. "Dia" sebenarnya berat rasa pada kau. Hanya saja "Cewek Tidak Mungkin Nembak Duluankan?"
Setelah menceritakan itu, teh pesanan kami datang. Aku terpaku, hilang kata-kata. Mengapa Achier tega tak memberi tahu info penting itu sedari awal. Kini dia sudah bersama yang lain. Dan jelas aku benar-benar kalah. Tak mungkin ku dekati lagi.
Benar kata Asben, sahabat sekaligus teman satu penanggungan di rantau Pekanbaru. Cinta bisa datang dan pergi kapan saja. Hanya orang-orang mengerti pertanda yang dapat menemukan cintanya sejati.
Gadis rambut kucir melintas. Sambil melambatkan langkahnya, dia menoleh dan kami saling bertatapan.
"Malam bang ki. Turun dari Marapi juga ya?" katanya.
Sumpah kaget aku. Siapa pula gadis ini, kok bisa kenal.
"Eh, iya," jawabku spontan. Achier dengan lagak, langsung sikut tepat di pingangku. Aw, ngilu.
Achier seakan memberi kode, dengan alis yang naik turun dan lirikan mata. Seolah ingin berkata, "Tunggu Apa Lagi Kau. Atau Aku yang Maju Duluan?!"
Ah, purnama yang Indah. Seindah parasmu yang berada dihadapanku. Selamat tinggal masa lalu. Selamat datang masa depan. Masa depan bersamamu gadis rambut kucir kuda. TAMAT
Sebenarnya perempuan punya hak untuk mengungkapkan duluan. Bukan berarti merendahkan martabatnya, semata-mata demi menopang ketidakmampuan lelaki mengutarakan gejolak tersebut. Kodratnya perempuan lebih kuat dr pada laki. Tetapi, lelaki tampak lebih tegar. Jadi, tidak salah jika perempuan mencoba mempertemukan 1 gejolak 2 hati tersebut.
BalasHapusEmmuacchh
yolah sanak :D
Hapusah g setuju, gakpake jilbab
BalasHapus#salah pokus
iye cik gu, maafkeun :D abdi teh khilaf pisannn
Hapusah g setuju, gakpake jilbab
BalasHapus#salah pokus
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus