Oleh: Jemy V. Confido
“Every experience is a paradox in that
it
means to be absolute, and yet is
relative; in
that it somehow always goes beyond
itself
and yet never escapes itself.”
T. S. Eliot
Suatu
ketika seorang teman saya berujar bahwa ia sedang berusaha berhenti merokok.
Yang aneh adalah dia berusaha berhenti merokok dengan cara merokok. Lha kok
bisa? Begini penjelasannya. Menurut teman saya tersebut, dia merokok mengikut
pola seperti misalnya dia merokok pada jam tertentu, setelah aktivitas tertentu
(misalnya setelah makan), di tempat tertentu (misalnya teras rumah), dan dengan
merek rokok tertentu. Semua itu membentuk suatu persepsi di dalam otaknya bahwa
merokok merupakan sesuatu yang menyenangkan. Nah, untuk membongkar persepsi
tersebut, teman saya itu mengacak pola yang sudah lama terbentuk. Ia mengacak
waktu merokok, kadang sebelum makan, kadang setelah makan, kadang di selasela
makan. Ia mengganti-ganti merek rokok yang dia konsumsi tanpa mengikuti suatu
pola tertentu agar tidak terbentuk pola baru yang nanti sulit dibongkar.
Apa
yang dilakukan teman saya tersebut sungguh merupakan sebuah paradox. Ia
berusaha berhenti merokok dengan cara merokok. Hampir saja saya tambahkan
emoticon pada kalimat tersebut, kalau saja saya tidak sedang menulis sebuah
artikel yang formal tentunya. Sungguh sebuah kalimat yang membingungkan bagi
banyak orang, kecuali kita sudah paham apa yang dijelaskan oleh teman saya
tersebut. Hidup ini memang penuh dengan paradoks. Paradoks merupakan pernyataan
yang menjelaskan situasi yang kontradiktif sehingga menafikan logika awal yang
dibangun di awal pernyataan itu sendiri. Kendati demikian, paradoks seringkali
membuat sebuah kalimat menjadi lebih menarik, lebih hidup, dan lebih punya
makna. Bahkan mungkin, bagi sebagaian orang, mereka sebenarnya hidup di dalam
paradoks. Hanya saja mereka bisa menyadari paradoks tersebut atau bisa juga
tidak menyadarinya sama sekali. Di antara banyaknya paradoks kehidupuan, pada
kesempatan ini perkenankan saya untuk membagikan tujuh paradoks yang cukup
menarik untuk disikapi.
1.
Kesepian di tengah keramaian
Lonely
in the crowd, begitulah ungkapan di dunia barat sana untuk menjelaskan paradoks
yang satu ini. Mungkin Anda pernah merasakan situasi ini. Anda berada di tengah
kerumunan banyak orang, bisa jadi dalam sebuah pesta bahkan, namun Anda tidak
merasa larut dalam pesta itu. Sebaliknya, Anda bahkan merasa terasing.
Orang-orang yang hadir di sana tidak bisa nyambung saat ngobrol dengan Anda.
Anda rasanya ingin berada di tempat lain. Mungkin tidak dikerumuni orang banyak
seperti itu, cukup ditemani oleh beberapa orang atau bahkan satu orang. Namun
orang tersebut bisa mengisi kehampaan relung hati Anda.
2.
Semakin cepat memacu semakin lambat mencapai
Paradoks
yang satu ini sungguh tidak masuk diakal. Dalam hukum fisika, kita mempelajari
bahwa semakin cepat sebuah kendaraan melaju semakin cepat kendaraan tersebut
akan menyelesaikan jarak yang ditempuh. Namun hidup ini tidak selalu bisa
dijelaskan dengan fenomena fisika bahkan dalam konteks berkendaraan sekalipun.
Saya pribadi pernah mengalaminya. Semakin saya menginjak pedal gas, semakin
jauh rasanya jarak yang harus ditempuh. Belum lagi bila ketergesa-gesaan kita
ini justru menyebabkan kecelakaan yang mengakibatkan perjalanan kita semakin
lambat. Anehnya, ketika kita mengemudi dengan kecepatan yang wajar dan perasaan
yang tenang, seringkali tidak terasa kita sudah sampai ke tempat tujuan. Hal
yang mirip juga sebenarnya berlaku dalam situasi yang bukan merupakan
perjalanan. Saat kita memacu seluruh kecepatan kita seringkali banyak hal
terlewatkan sehingga akhirnya kita harus mengulang kembali apa yang sedang kita
kerjakan sehingga secara keseluruhan kita justru lebih lambat menyelesaikan
tugas kita.
3.
Semakin meningikan diri semakin direndahkan
Mungkin
Anda pernah menyaksikan situasi seperti ini: seseorang dengan angkuhnya
menunjukkan kemampuan, kekayaan atau kedudukannya. Sementara orang yang lainnya
dianggap remeh atau dilecehkan. Namun tiba-tiba keadaan berbalik ketika orang
yang semula diremehkan tersebut ternyata memiliki kemampuan, kekayaan atau
kedudukan yang lebih tinggi daripada orang yang semula angkuh tersebut.
Paradoks yang satu ini mengingatkan kita untuk tetap rendah hati karena dengan
rendah hati, kita tidak memiliki tempat untuk jatuh atau kalaupun jatuh tidak
terlalu sakit. Tapi bila kita meninggikan diri, maka kita akan merasa sakit
bila jatuh. Anehnya, banyak orang berusaha untuk meninggikan diri mereka dengan
berbagai cara. Padahal, dengan tidak perlu bersusah payah meninggikan diri,
seseorang justru bisa dengan lebih efektif mendapatkan simpati dari orang-orang
di sekitarnya.
4.
Semakin bertambah semakin kekurangan
Kita
sering berusaha untuk menambah apa yang kita miliki. Baik ilmu, harta atau
jabatan. Lucunya, semakin kita menambah, semakin kita merasa kekurangan. Dalam
hal ilmu pengetahuan, Anda mungkin sering mendengar orang berkata: “Semakin
saya belajar semakin saya tidak tahu.” Tentu saja yang dimaksud orang tersebut
bukan berarti apa yang dia pelajari tidak berguna atau malah mengurangi ilmu
yang dimilikinya. Tapi yang dimaksud adalah semakin ia belajar semakin ia
menyadari bahwa masih banyak hal yang belum ia pelajari. Dalam urusan harta
situasinya tidak berbeda jauh. Semakin banyak seseorang memiliki harta kekayaan
semakin ia menyadari masih banyak harta yang tidak ia miliki. Hal yang sama
juga terjadi dengan jabatan. Semakin tinggi jabatan yang dimiliki seseorang
semakin ia merasakan bahwa ada jabatan yang lebih tinggi. Bahkan bila ia sudah
memiliki jabatan yang paling tinggi sekalipun maka dirinya akan merasa
kekurangan waktu untuk menduduki jabatannya tersebut.
5.
Semakin banyak menyingkirkan musuh semakin banyak musuh datang
Dalam
film Gladiator, Kaisar Marcus Aurelius bertanya pada Jendral Maximus mengenai
sampai kapan ia akan berperang. Maximus yang penuh dengan integritas dalam
membela Roma menjawab bahwa ia akan terus berperang sampai tidak ada lagi musuh
untuk dilawan. Kemudian Aurelius yang bijak menasehati Maximus bahwa akan
selalu ada musuh untuk di lawan. Pepatah mengatakan satu orang musuh terlalu
banyak seribu orang kawan terlalu sedikit. Namun dalam kenyataannya musuh akan
selalu ada meskipun kita tidak pernah mengundang apalagi menciptakannya. Yang
menjadi tantangan adalah bagaimana kita bisa memposisikan musuh agar tidak
berada dalam posisi yang menarik untuk menyerang kita. Bila hal tersebut bisa
dilakukan, maka kita sudah cukup bisa mengatasi musuh kita. Namun, bila hal
tersebut tidak bisa dilakukan, maka kita bisa saja terpancing untuk
menyingkirkan musuh kita. Dalam situasi inilah kita akan terjebak dalam
paradoks yang satu ini karena untuk menyingkirkan satu musuh, kita akan
menciptakan musuh baru. Semakin banyak kita menyingkirkan musuh, semakin banyak
pula musuh datang. Dan akibatnya, kita akan mengalami apa yang dikatakan oleh
Aurelius, kita akan selalu memiliki musuh.
6.
Semakin kuat semakin lemah
Paradoks
yang satu ini mungkin sangat unik. Pada umumnya semua orang merasa kuat
alam keadaan normal. Kita merasa mampu melakukan apa saja. Namun anehnya,
saat kita merasa kuat, kita justru seringkali tidak bisa menyelesaikan banyak
hal. Mengapa? Salah satunya karena kita terpancing untuk mengerjakan terlalu
banyak hal sendirian. Bahkan kita lupa untuk memohon pertolongan dari Yang Maha
Kuasa. Namun setelah kita merasa tidak berdaya, kita mulai meminta pertolongan
orang lain dan memohon bantuan kepada Yang Maha Kuasa. Pada saat itulah
biasanya kita justru lebih mampu untuk menyelesaikan lebih banyak hal. Apa yang
selama ini tidak mampu kita kerjakan tiba-tiba bisa kita tuntaskan dalam waktu
singkat.
7.
Benci dan cinta
Paradoks
yang ke-7 adalah kebingungan atau kerumitan antara benci dan cinta. Banyak
orang takut mencintai karena mencintai akan menuntut orang yang dicintai untuk
membalas cinta yang kita berikan. Sayangnya, dalam banyak kasus, timbal balik
seperti itu tidak terjadi. Dalam situasi tersebut, cinta bisa berubah menjadi
benci. Akhirnya, daripada menjadi benci, maka banyak orang memilih untuk tidak
mencintai. Bagi Anda yang mengalami situasi ini, mungkin ada baiknya mengikuti
kata-kata Mother Teresa: “I have found the paradox, that if you love until it
hurts, there can be no more hurt, only more love.” (www.jemyconfido.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Sudah berkunjung ^_^
Jangan lupa komen ya, trims